Perbedaan yang Menyatu di Merah Putih

AREA di sepanjang lorong itu ialah daerah padat dan ramai di Banda Aceh, Aceh. Lapak-lapak dagangan berjejal seperti ikan sarden dalam kaleng.

Di berbagai sudut terlihat lampion. Ada pula bendera Merah Putih. Sejak sepekan sebelum peringatan kemerdekaan RI, kawasan Gampong Peunayong yang dikenal juga sebagai pecinan memang sudah dihias. Semangat perayaan tidak hanya terlihat dari hiasan, tetapi juga dalam interaksi sosial.

Seorang perempuan Tionghoa paruh baya bernama A Yuan sudah siap sedia menyiapkan hidangan perayaan bersama ibu-ibu asli Aceh. “Kami hanya bantu ibu-ibu di sana. Biasanya mereka masak kuah asam pedas dan kuah pliek u. Hidangan itu biasanya disantap bersama karena kaum ibu biasanya ikut perlombaan tarik tambang, main voli, dan goyang dangdut kain sarung,” tutur A Yuan sambil memotong sayur di sebuah kedai kopi di Gampong Peunayong.

Kebersamaan itu pula yang mendorong perempuan 55 tahun itu kembali dari Dubai, Uni Emirat Arab. Ia baru beberapa hari tiba setelah tinggal beberapa waktu di Dubai karena sang anak menikah dengan warga negara itu.

A Yen, perempuan Tionghoa lainnya, punya cerita serupa. Saat di Aceh terjadi konflik, ia sempat pindah ke Malaysia, Hong Kong, dan Tiongkok. Setelah perekonomian di Aceh membaik, tidak ada keraguan lagi bagi A Yen untuk pulang.

“Hidup di Indonesia lebih tenang dan damai. Kebiasaan yang saya lakukan di sini membuat saya rindu dan kembali lagi ke Aceh. Apalagi, kebersamaan menyambut Hari Kemerdekaan. Pasti selalu meriah,” ceritanya.

Meski akhir-akhir ini banyak konflik antaretnik dan agama, di tempat-tempat lain keberagaman memang tetap langgeng dan terawat. Di Yogyakarta, potret itu ada di Kampung Pejaksan di kawasan Malioboro. Etnik Jawa, Tiongkok, Padang, Sunda, dan Arab hidup berdampingan. Keberagaman itu pula yang semestinya kembali dirayakan pada peringatan kemerdekaan Republik ini. (FD/AT/M-3)