Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Fokus

Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.

PPP Harus Mampu Rangkul Garis Keras

Haryanto
26/11/2020 19:55
PPP Harus Mampu Rangkul Garis Keras
Ketua DPW PPP Jateng, Masruhan Samsuri.(MI/Haryanto)

MUKTAMAR IX Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang akan digelar pada 19 Desember 2020 di Makassar, Sulawesi Selatan, membutuhkan figur calon ketua umum yang pemersatu. Sekaligus memiliki tanggung jawab hidup matinya PPP kedepan.

"Calon ketua umum PPP harus berusaha merangkul mereka yang disebut garis keras dengan semangat hubbul wathon (cinta tanah air)," kata Ketua  DPW PPP Jateng, Masruhan Samsuri, di Semarang, Kamis (26/11).

Menurut dia, bagi PPP Jateng sepakat akan memilih figur pengurus DPP yang secara rasional mampu menyelamatkan PPP dari Parlemetary Threshold (PT) pada pemilu 2024 nanti.

"Tidak hanya figur ketum saja, tapi semua pengurus DPP sebagai pihak bertanggung jawab hidup matinya PPP nanti. Jadi kepemimpinan yang kolektif kolegial. Cari figur ketum yang ideal sulit, karena itu harus mengedepankan kerja tim tuk DPP kedepan," tegas  Masruhan.

Munculnya banyak figur kandidat ketum, menurutnya hal yang bagus. DPC-DPC PPP se- Jateng sudah sangat dewasa dalam memilih figur ketum yang tepat.

Sementara beberapa perumusan yang akan disampaikan di arena Muktamar atara lain, kembalinya PPP sebagai partainya umat Islam yang mampu menjawab tantangan jaman, misalnya mengembangkan dakwah politik yang membawa kemajuan umat.

"Kemiskinan, ketertinggalan di dunia pendidikan dan akhlak adalah problem umat dan bangsa yang menjadi misi PPP kedepan. Disamping ikut aktif mewujudkan wajah Islam yang lebih cantik dan simpati," ujarnya.

Menurut dia, radikalisme adalah sebuah kurban dari politik 'adu domba' pihak lain. Memang ada sejumlah kecil orang Islam yang jadi teroris, radikalis, eksklusif dan sebagainya. "Mereka sebetulnya jadi korban stigmatisasi saja," imbuhnya. (OL-13)

Baca Juga: Aset Digital Diharapkan semakin Familiar di Indonesia



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Muhamad Fauzi
Berita Lainnya