Tarif Air DKI Stagnan Sejak 2007

Putri Anisa Yuliani
22/1/2016 16:32
Tarif Air DKI Stagnan Sejak 2007
(MI/RAMDANI)

Direktur Utama PAM Jaya Erlan Hidayat menyayangkan tarif air di Ibu Kota stagnan sejak tahun 2007. Menurutnya, dengan berbagai faktor seperti pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan inflasi serta meningkatnya jumlah pelanggan sudah sepatutnya tarif air dinaikkan.

PAM Jaya sebagai BUMD yang berperan sebagai regulator pengolahan air pun sudah berupaya mengajukan kenaikan tarif air kepada DPRD. Kenaikan tarif pernah diajukan oleh Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama melalui rekomendasi PAM Jaya pada tahun lalu. Namun, rencana penyesuaian tarif tersebut dimentahkan anggota dewan.

"Sebenarnya keterlaluan juga kalau tarif air itu sembilan tahun tidak naik. Tidak masuk akal lho. Padahal kemampuan masyarakat juga sebenarnya sudah meningkat," kata Erlan, Kamis (21/1).

Menurut Erlan, penyesuaian tarif diperlukan agar baik operator maupun PAM Jaya mampu memperbaiki layanan serta memperluas jaringan distribusi air melalui perpipaan. Sebab, Pemprov DKI dan pemerintah pusat sudah mendorong kebijakan agar warga tidak menyedot air tanah dan menggunakan air dari jaringan perpipaan. Hal ini berkaitan dengan penurunan muka tanah di Jakarta yang cukup tinggi setiap tahunnya dan juga mencegah terjadinya krisis air.

Erlan pun berencana akan mengajukan penyesuaian tarif beberapa waktu mendatang. Penyesuaian tidak akan terjadi pada tarif dasar melainkan membentuk sistem tarif progresif.

"Suatu saat saya akan menuju ke sana (tarif progresif). Setiap pemakaian lebih dari 10 meter kubik akan naik sejumlah tertentu," kata dia.

Dihubungi terpisah, Manajer Komunikasi PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja), Meyritha Mayranie menyetujui kenaikan tarif tersebut. Penyesuaian tarif, kata dia bukan semata untuk menaikkan keuntungan. Tetapi untuk mencegah tindakan penjualan air.

Menurut temuan Palyja pada tahun lalu, banyak warga kelas menengah bawah dengan tarif sebesar Rp 1.050 permeter kubik yang menjual kembali airnya kepada warga lain. Tindakan tersebut menurutnya merupakan suatu pelanggaran karena pemakaian rumah tangga tidak diperbolehkan untuk diperjualbelikan.

Selain itu, masyarakat dengan tarif air yang murah cenderung lebih boros dalam pemakaian air. Hal tersebut kontradiktif dengan program Pemprov yang ingin agar warganya menjaga lingkungan dengan menghemat air.

"Miris juga. Kami sering lihat tuh mereka jual-jual air dan mereka itu boros sekali. Lebih boros dibanding dengan yang menengah. Kan sayang," kata Meyritha.(Put/OL-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Aries
Berita Lainnya