Perjuangan Manggala Agni di Garda Terdepan Karhutla
MICOM
09/3/2019 17:25
ANTARA(ANTARA)
DARI pantauan udara, kawasan Mumugo di Rokan Hilir, Bangsal Aceh dan Medang Kampai di Dumai, tak lagi berapi. Menyisakan petak-petak lahan kecoklatan bekas terbakar yang berhasil dipadamkan. Heli Bell 412 PK-DAS KLHK yang melakukan patroli udara, terus terbang ke arah Pulau Rupat, Bengkalis. Dari kota Dumai, Pulau indah ini hanya dipisahkan Selat.
Kawasan ini sebelumnya terbakar hebat. Heli sempat terbang rendah melihat kerja tim Manggala Agni yang masih bekerja di lokasi ini. Setelahnya heli berputar dan mendarat di Bandara Pinang Kampai, Dumai. Dari sinilah perjalanan darat melihat kerja Manggala Agni dimulai.
Panas terik. Aroma lahan terbakar begitu menyengat. Tanah yang didominasi gambut masih terasa hangat bahkan panas saat diinjak meski telah menggunakan sepatu tebal. Debunya seketika menyeruak memedihkan mata. Harus hati-hati saat melangkah karena masih menyisakan banyak bara dimana-mana.
Beberapa meter ke depan, lidah api terlihat menjilat. Menghanguskan pepohonan, rerumputan, dan gambut di sekitarnya. Di antara asap, debu pekat, dan bara api di dalam gambut itu, empat pasukan Manggala Agni terus merengsek maju.
Batu Bintang, Dumai Barat, menjadi lokasi pertama yang dikunjungi, Selasa (5/3/2019) lalu. Berjarak hanya sekitar 45 menit dari bandara, dan cukup berdekatan dengan pemukiman warga, tim Manggala Agni bagai berpacu dengan waktu dan cuaca.
Lokasi yang sulit dan tak bisa diakses kendaraan, memaksa tim Manggala Agni harus membawa seluruh peralatan dengan berjalan kaki. Untuk mengakali stok air yang sangat terbatas, dibuatlah embung-embung air di lokasi terbakar. Luasnya sekitar 4x2 meter, dengan kedalaman lebih kurang 8 meter.
Dari embung inilah selang dipasang, dan kemudian ditarik manual untuk memadamkan jilatan api dari jarak paling terdekat. Mereka harus sangat berhati-hati, karena yang diinjak terkadang adalah api.
Tim juga harus memperhatikan arah angin, karena asap yang menyelimuti lokasi membuat jarak pandang begitu terbatas. Terkadang angin bisa saja membuat jilatan api berputar mengelilingi mereka. ''Kalau lahan sudah terbakar begini, tak ada yang berani mengaku milik siapa. Pokoknya kalau sudah terbakar, jadi milik kami untuk segera dipadamkan,'' kata anggota Manggala Agni, Yanweli, dengan suara yang mulai parau.
Mereka sudah bekerja memadamkan Karhutla sejak awal Januari, jauh sebelum Provinsi Riau menetapkan status siaga darurat. Mereka menjadi garda terdepan tiap dilaporkan terjadi kebakaran, yang mayoritas terjadi di lahan milik masyarakat.
Kekuatan Daops Dumai ada 60 orang. Area tugas mereka tidak hanya di Dumai saja, namun juga sampai ke Bengkalis dan sebagian Rokan Hilir. Hampir setiap hari pasukan Manggala Agni turun ke lokasi, mulai dari yang bisa diakses roda empat, roda dua, bahkan hanya dengan akses jalan kaki. ''Kami jauh dari pemberitaan, karena terkadang bekerja di lokasi yang jauh dari penglihatan dan jangkauan. Bagi kami tak masalah, karena yang terpenting adalah titik api bisa segera dipadamkan,'' kata Jusman.
Dikatakannya, titik api skala besar di wilayah Daops Dumai, termasuk di pulau Rupat yang sempat terbakar hebat, sudah berhasil dipadamkan. Tahapan saat ini adalah melakukan proses pendinginan.
Mayoritas yang terbakar adalah area lahan gambut yang memiliki keunikan. Di atas bisa saja tidak terlihat ada api, namun di bawahnya masih menyisakan bara menyala. Maka proses pendinginan sebenarnya jauh lebih sulit dan beresiko dari proses pemadaman. Bahkan butuh waktu hingga berminggu-minggu. ''Kami harus memastikan api di bawah lahan gambut benar-benar padam. Kalau pemadaman apinya terlihat, kalau proses pendinginan, bisa saja api tersembunyi di bawah kaki,'' jelas Jusman.
Proses pendinginan lainnya di wilayah Kota Dumai terletak di jalan Meranti. Lokasi ini juga masih berdekatan dengan pemukiman warga, dan titik api sudah berhasil dipadamkan. Namun banyak titik yang masih menyisakan asap, menandakan bahwa ada bara di bawah gambut yang berpotensi menjadi titik api jika dibiarkan.
Di sini tim Manggala Agni tidak membuat embung. Mereka memanfaatkan air dari parit di tepi jalan, lalu menyambung selang demi selang hingga masuk ke dalam area terbakar. Lokasi cukup sulit karena tidak ada akses jalan.
''Kalau begini harus menebas semak belukar dan membuat jalan setapak lebih dulu, agar selang air bisa masuk,'' jelas Jusman.
Untuk membantu proses pemadaman dengan debit air yang sedikit, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) membekali tim MA di lapangan dengan zat adiktif. Bahan kimia ini akan dicampur dengan air, dan disemburkan menggunakan alat pemadam bernama nozzle air.
Dengan alat ini air bercampur bahan kimia yang ramah lingkungan, disemburkan dengan tiga posisi. Melintang, menyebar, dan satu lagi dengan posisi seperti 'disuntikkan' ke dalam tanah atau lahan gambut. ''Zat ini sangat membantu mempercepat proses pemadaman maupun pendinginan, karena menutup sumber oksigen api,'' terang Jusman.
Siang mulai menyapa petang, namun tim Manggala Agni sebagai garda terdepan pemadam dari KLHK, masih belum kunjung terlihat akan pulang. Jusman mengatakan, jika mereka harus benar-benar memastikan bahwa semua titik api dan titik asap sudah padam, atau paling tidak aman saat ditinggalkan.
''Di pulau Rupat, meski saat ini sudah tak ada titik api lagi, namun tim Manggala Agni masih melakukan proses pendinginan yang penuh resiko. Bahkan ada yang harus tinggal di lokasi, sudah hampir satu bulan,'' ungkap Jusman.
Akhirnya diputuskan sore itu juga menuju Rupat, dan hanya bisa diakses menggunakan jalur darat. Diawali dengan menggunakan mobil selama lebih kurang 1 jam, baru sampai di pelabuhan. Setelah mengantri dengan kendaraan warga lainnya, butuh waktu sekitar 30 menit menyeberang menggunakan kapal Roro, dari Dumai ke Tanjung Kapal, Rupat.
Petang menjelang saat tiba di Pulau Rupat. Menggunakan mobil tipe 4WD, butuh waktu lebih dari 1 jam, melewati jalan-jalan kampung untuk menuju Desa Pergam, salah satu desa terparah kebakaran hutan dan lahan (Karhutla).
Mobil harus masuk ke jalan Hikmah, Kelurahan Pergam. Sekitar 2 Km dari jalan desa, sampai ke ujung jalan tanah, mobil terpaksa berhenti. ''Kita hanya bisa sampai di sini. Dari sini harus menggunakan sepeda motor, jaraknya lumayan. Teman-teman Manggala Agni ada di dalam,'' kata Fauzi, Korlap Manggala Agni regu 2 Daops Dumai.
Petang mulai berganti malam. Terang berganti gelap. Jauh dari pemukiman, dikelilingi kebun warga yang didominasi sawit, dan hutan. Hanya ada suara alam, sekitar 12 tim Manggala Agni bekerja melakukan pendinginan dengan alat penerangan seadanya, berupa senter yang dilekatkan di kepala masing-masing. Mereka mencari titik asap, melakukan pemadaman bara api di bawahnya, agar tidak ada yang berpotensi menjadi titik api.
''Kami harus pastikan betul tidak ada titik asap dan bara yang tersisa, bahkan bila harus kerja sampai pagi sekalipun. Karena kalau ditinggal dan ternyata terbakar lagi, maka sia-sialah proses pemadaman yang sudah dilakukan selama ini,'' kata Wadanru Regu II Daops Dumai, Safrudin.
Sekitar jam 19.18 WIB, setelah memastikan di lokasi Desa Pergam sudah aman, tim baru memutuskan pulang ke titik yang bisa dijangkau mobil. Setelah meletakkan peralatan di mobil bak terbuka, mereka kemudian membuat lingkaran kecil.
Mereka berdoa bersama di tengah kegelapan malam, atas keselamatan kerja hari itu, dan berharap tidak ada titik asap yang berubah menjadi titik api karena faktor angin.
Dari lokasi ini tim Manggala Agni menuju jalan Semoga Jaya, Kelurahan Terkul. Dari jalan utama desa, tim mulai masuk ke jalan tanah. Perlahan tidak ada lagi pemukiman. Hanya tersajikan kesunyian dan kegelapan hutan.
Sekitar jam 21.00 WIB, setelah perjalanan hampir 5 Km, tim baru sampai di barak. Ini bukan barak permanen, melainkan pondok kayu seadanya yang merupakan bekas milik warga. Tidak ada listrik. Penerangan dibantu dengan alat genset yang dibawa khusus. Hanya ada beberapa lampu menyala, dan dianggap benar-benar perlu.
Tidak ada tersedia kamar mandi. Hanya ada parit kecil mengalir di depan barak, yang dimanfaatkan tim Manggala Agni untuk aktivitas bersih-bersih setelah pulang dari memadamkan api. Untuk penerangan hanya mengandalkan senter seadanya. ''Kami biasanya berpindah-pindah mendirikan tenda di lokasi terdepan titik api. Kebetulan saat kebakaran hebat di desa Terkul, inilah lokasi paling terdekat, hanya berjarak 100 meter dari lokasi,'' jelas Safrudin.
Udara memang bikin sesak. Aroma lahan terbakar sangat menyeruak. Asap masih dimana-mana. Namun bagi tim Manggala Agni, kondisi ini sudah biasa.
Memang resikonya besar, mereka terpaksa harus berjaga-jaga. Jangan sampai semuanya tertidur karena lelah kerja seharian, lalu angin mendadak menghidupkan titik asap menjadi titik api, dan mengepung barak kayu mereka. ''100 meter dari sini adalah kepala api, tepatnya di Kelurahan Terkul. Disinilah awal mula kebakaran besar di Rupat. Masih banyak titik asap yang harus diwaspadai menjadi titik api,'' ungkap Safrudin.
Sejak akhir Januari, sudah ada empat desa terbakar, yakni Desa Kebumen, Teluk Lecah, Sri Tanjung, dan Sukarjo Mesim. Titik api juga menyasar lahan di Kelurahan Pergam, dan Kelurahan Terkul.
''Lokasi ini adalah benteng terakhir yang kami jaga. Jangan sampai titik api loncat ke Kelurahan Batu Panjang dan Desa Darul Aman. Jika dua desa ini ikut terbakar, artinya Rupat Selatan keseluruhan terbakar. Itulah yang kami jaga dengan berpindah-pindah selama sebulan terakhir,'' jelas Safrudin.
Dengan luasan terbakar yang mencapai radius puluhan hektar, tim mereka yang terdiri 14 orang hampir tidak mungkin melakukan pemadaman ke tengah titik api. Mereka berjibaku hampir 24 jam, menjaga batas-batas titik api agar tidak meluas. Lokasi titik api yang tak bisa dijangkau tim darat, baru dilakukan dengan pemadaman lewat udara. ''Hal yang paling sulit adalah angin yang berputar-putar, dan asap yang menutupi area. Saat Rupat terbakar hebat kemarin, kami benar-benar bekerja dengan dikepung asap,'' kata Safrudin.
Iapun bersyukur, meski Karhutla di Rupat cukup hebat, namun titik api berhasil dipadamkan. Kini tugas merekalah di darat untuk melakukan proses pendinginan, dan ini artinya mereka membutuhkan waktu yang lebih lama lagi untuk tinggal seadanya di dalam hutan.
Untuk konsumsi, mereka telah membuat jadwal piket. Ada dua orang yang bertugas jaga barak dan masak untuk konsumsi teman-temannya yang bertugas. ''Silahkan istirahat sebentar, sambil bersih-bersih. Beberapa jam ke depan, kita akan lakukan patroli rutin di lokasi lahan Karhutla,'' kata Safrudin mengingatkan rekan-rekannya.
Tidak ada sahutan nada protes, padahal mereka baru saja seharian pulang memadamkan titik api dan proses pendinginan yang penuh resiko.
''Meski kerjanya sulit, tidak pulang-pulang ke rumah, dan bertaruh nyawa, kami bangga menjadi Manggala Agni, karena yang kami selamatkan adalah tanah kami sendiri,'' kata Safrudin, sambil duduk beristirahat dengan anggota timnya. (RO/OL-6)