Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
DOKTER spesialis neurologi, dr. Restu Susanti, Sp.N(K). M.Biomed menjelaskan bahwa perempuan memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami migrain dibandingkan laki-laki.
"Perempuan memiliki peluang tiga sampai empat kali lebih sering menderita migrain dibandingkan pria," kata Restu dalam diskusi kesehatan yang digelar daring pada Kamis.
Ia menjelaskan bahwa migrain adalah nyeri kepala berulang yang terjadi di satu sisi kepala. Gejala migrain dapat memburuk jika penderitanya melakukan aktivitas fisik yang intens.
Baca juga : Upaya Preventif Penting untuk Menjaga Kesehatan Reproduksi Perempuan
"Biasanya disertai dengan gejala mual, muntah, atau sensitivitas terhadap suara atau cahaya terang," tambah Restu, yang juga merupakan dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Menurutnya, gejala migrain pada perempuan biasanya berlangsung lebih lama, memiliki risiko kambuh lebih tinggi, dan membutuhkan waktu pemulihan yang lebih lama dibandingkan dengan pria.
Restu menjelaskan bahwa serangan migrain pada perempuan berhubungan dengan hormon. Peningkatan hormon estrogen, terutama selama siklus menstruasi atau kehamilan, berperan dalam peningkatan kadar calcitonin gene-related peptide (CGRP), yang bisa memicu serangan migrain.
Baca juga : Ilmuwan AS Pecahkan Misteri Kromosom Y yang Pengaruhi Kesuburan Reproduksi Pria
"Pada wanita, perubahan hormonal dimulai dari pubertas, menstruasi, hamil, hingga menopause. Estrogen memainkan peran penting terhadap CGRP sebagai pemicu migrain," jelas Restu.
Menurutnya, intensitas migrain pada perempuan biasanya meningkat pada masa pubertas, mencapai puncaknya pada masa reproduksi, dan menurun saat memasuki masa menopause.
Restu mengatakan bahwa serangan migrain yang berkelanjutan dapat menurunkan produktivitas dan menyebabkan gangguan emosional, yang dapat berdampak pada interaksi sosial dan pengasuhan anak bagi penderita yang sudah berkeluarga.
Baca juga : BPS: Ketimpangan Gender di Indonesia Semakin Kecil
"Jika migrain terus berlanjut, tentu akan mempengaruhi parenting dan prestasi akademik anaknya," ujarnya.
Gejala migrain dapat dicegah dengan menerapkan pola hidup sehat, termasuk olahraga teratur, makan sehat, serta tidur yang cukup dan teratur.
Selain itu, ia menekankan pentingnya manajemen stres, membatasi konsumsi kafein, menghindari minuman beralkohol, berhenti merokok, dan minum obat sesuai anjuran dokter dalam upaya mengatasi migrain. (Z-10)
Berdasarkan studi Global Burden of Disease 2019, migrain menempati urutan nomor dua sebagai penyakit penyebab disabilitas tertinggi di dunia baik bagi pria maupun wanita.
Migrain bukan suatu penyakit kepala biasa atau nyeri kepala seperti vertigo dan lainnya.
Migrain tidak hanya dialami oleh orang dewasa, tetapi juga anak-anak dan remaja perempuan.
Migrain merupakan jenis sakit kepala yang terasa seperti berdenyut dan umumnya terjadi hanya pada satu sisi kepala.
Migrain, kondisi yang sering kali mengganggu aktivitas sehari-hari, ternyata lebih sering dialami oleh perempuan dibandingkan pria.
Bagi pekerja yang menderita migrain disarankan untuk selalu menyediakan obat darurat yang dapat meredakan nyeri kepala.
Apa saja penyakit yang dapat menimpa sistem reproduksi? Berikut pembahasan beberapa kelainan dan penyakit yang dapat terjadi pada sistem reproduksi manusia
Kali ini kita mempelajari organ-organ yang menyusun sistem reproduksi pada laki-laki. Berikut pemaparannya.
KEMENTERIAN Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mengungkapkan bahwa setiap tahunnya, anak perempuan paling sering menjadi korban kekerasan
Kasus disebut unexplained karena setelah melalui pemeriksaan, ternyata semua hasilnya normal, tidak ditemukan kelainan, tetapi tetap susah mendapatkan keturunan.
Penanganan bayi tabung (IVF) di Indonesia masih sangat rendah, hanya mencapai 10% dari standar global.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved