Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Fokus

Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.

Satu Alquran Banyak Aliran

Nasaruddin Umar Imam Besar Masjid Istiqlal
06/5/2021 05:35
Satu Alquran Banyak Aliran
Nasaruddin Umar Imam Besar Masjid Istiqlal(MI/Seno)

ADA pertanyaan yang sering dilontarkan orang, mengapa umat Islam di sana sini banyak aliran dan mazhab, bahkan satu sama lain berkonflik, sementara mereka hanya mengakui satu Alquran dan hadis?

Pertanyaan itu kelihatannya sederhana, tetapi banyak tersimpan di benak banyak orang, khususnya mereka yang memahami Islam secara dangkal. Perbedaan aliran lebih banyak berhubungan dengan masalah akidah dan teologi, sedangkan perbedaan mazhab lebih banyak berhubungan dengan masalah fikih dan hukum Islam.

Alquran memang hanya satu dan seluruh redaksinya diakui sama di seluruh dunia Islam dari zaman dahulu sampai sekarang. Tidak ada sedikit pun penambahan atau pengurangan. Bahkan penulisannya pun tetap dipertahankan sekalipun beberapa di antaranya tidak lagi sesuai dengan gaya penulisan (rasm) bahasa Arab modern.

Demikian pula dengan hadis. Meskipun periwayatannya lebih banyak bersifat maknawi, para ulama telah berhasil menetapkan kriteria pemeliharaan yang amat ketat, jauh lebih ketat ketimbang dengan metode ilmu-ilmu sosial modern. Tingkat keadilan, muruah, kejujuran, dan ketakwaan menjadi penentu validitas sebuah hadis. Dengan demikian, sulit sekali terjadinya pemalsuan hadis, apalagi setelah dilakukan komputerisasi hadis.

Perbedaan aliran dan mazhab dalam Islam sangat dimungkinkan, bahkan Alquran dan hadis mengisyaratkan kemungkinan itu. Ada ungkapan Alquran menarik untuk disimak, “Janganlah kamu (bersama-sama) masuk dari satu pintu, dan masuklah dari pintu-pintu yang berbeda-beda." (QS Yusuf/12:67). Dalam hadis Nabi juga pernah dikatakan, "Perbedaan pendapat di kalangan umatku ialah rahmat."

Alquran dan hadis mengisyaratkan perbedaan dan diversity sebagai sunnatullah dan manusiawi. Namun demikian, Alquran dan hadis selalu mengajak untuk ke arah titik temu (kalimah sawa), bukan hanya sesama umat Islam, melainkan juga untuk seluruh agama dan berbagai etnik.

Banyak faktor yang menyebabkan perbedaan aliran dan mazhab itu muncul. Ada faktor internal dan ada faktor eksternal. Dalam soal aliran, misalnya, terdapat beberapa isyarat yang berbeda-beda (tapi tidak bertentangan) tentang otonomi manusia. Apakah perbuatan manusia itu otonom atau share dengan Tuhan? Kalau share, siapa yang memiliki share lebih besar?

Aliran Jabariyah berpendapat perbuatan manusia sesungguhnya adalah perbuatan Tuhan, manusia sama dengan robot. Aliran Asy’ariyah berpendapat perbuatan manusia share dengan Tuhan, tetapi share manusia lebih sedikit menurut Maturidi Bukhara dan share manusia lebih besar menurut Maturidi Samarkand.

Lain halnya aliran Mu’tazilah yang menganggap perbuatan manusia sepenuhnya adalah perbuatannya sendiri karena Tuhan telah menganugerahkan kekuatan memilih (ikhtiar) bagi manusia. Dari aliran yang fatalistik sampai ke aliran liberal sama-sama mengaku mendasarkan pandangannya kepada Alquran dan hadis.

Soal perbedaan aliran dan mazhab serta hukum demikian pula halnya. Para ulama mendasarkan pendapatnya kepada Alquran dan/atau hadis, tetapi wujud mazhabnya berbeda satu sama lain. Contoh yang sering diangkat ialah masalah furu’iyyah, misalnya perkara yang membatalkan wudu. Kata lamasa (bersentuhan dengan perempuan) di dalam QS al-Ma'idah/5:6 melahirkan empat mazhab. Imam Syafi’i berpendapat yang membatalkan wudu kalau menyentuh perempuan yang dewasa dan bukan muhrim. Meskipun berlawanan jenis dan bukan muhrim, kalau masih belum dewasa, tidak membatalkan wudu.

Dalam pendapat lamanya (qaul qadim), Imam Syafi’i tidak memasukkan laki-laki dan perempuan tua membatalkan wudu. Akan tetapi, ketika pindah ke Mesir, ia menjumpai sepasang kakek-nenek berpelukan mesra tanpa diikat tali perkawinan, lalu ia mengeluarkan kakek-nenek sebagai orang yang tidak membatalkan wudu.

Imam Malik berpendapat bahwa kata lamasa dalam ayat tadi berarti menyentuh dengan syahwat; sepanjang tidak ada nafsu syahwat di dalam bersentuhan dengan lawan jenis maka wudu tidak batal. Imam Abu Hanifah berpendapat, kata lamasa (’bersentuhan') sesungguhnya bahasa simbolik, berarti bersetubuh. Sepanjang tidak melakukan persetubuhan maka yang bersangkutan tidak batal wudunya. Allahu a’lam.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya