Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Fokus

Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.

Meretas Ruang Sastra bagi Perempuan

FATHURROZAK
14/11/2020 04:50
Meretas Ruang Sastra bagi Perempuan
PENULIS Yvonne de Fretes salah satu penulis dalam buku kumpulan puisi dan cerpen berjudul Sepuluh Meretas Batas(ANTARA/DODO KARUNDENG)

TINGGAL di sebuah pulau yang jauh dari akses, membuat novelis Erni Aladjai harus berupaya superekstra untuk bisa masuk peta sastra Indonesia. Sebagai gambaran, dia tinggal di Kepulauan Labobo, Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah. Untuk mencapai tempat tinggalnya dari Jakarta, harus dua kali naik pesawat dan dua kali naik kapal. Perjalanannya dalam meretas ruang sastra, dimulai dari tanah kelahirannya, dan berlanjut saat dirinya belajar di kampus di Makassar. Sebelum menulis karya fi ksi, dia mengawali kepenulisannya lewat reportase untuk media massa.

“Banyak masalah sosial yang saya hadapi. Tidak bisa mengharapkan orang berpikiran terbuka karena memang tidak ada akses bacaan dan informasi. Jadi tidak aman, mau minta bantuan ke mana? Karena akses informasi tertutup,” cerita Erni dalam diskusi virtual Perempuan Penulis dan Ruangnya, Rabu, (11/11).

Hampir mirip dengan Erni, penulis Raisa Kamila yang tinggal di Aceh dan jauh dari sumber bacaan merasa menjadi tertantang semasa ia bertumbuh. Beruntung ia bersekolah di Medan, dan saat itu akhirnya bisa mengakses buku-buku bacaan. Bahkan, jaringan toko buku mayor baru masuk beberapa tahun belakangan di daerahnya di Aceh. Raisa kemudian menempuh pendidikan sarjana di Yogyakarta.

“Kalau menulis (di Aceh) bukan pekerjaan. Berbeda dengan teman di Yogyakarta, atau di Jakarta, misalnya. Sembari menulis, bisa bekerja sebagai editor, penerjemah, atau bekerja di agensi iklan. Di Aceh tidak ada pilihan-pilihan itu,” cerita Raisa.

Situasi sosial politik juga menjadi salah satu tantangan. Raisa juga menyebut itu juga bisa menjadi salah satu faktor ketiadaan perempuan penulis dari wilayahnya, yang ‘sementereng’ namanama laki-laki penulis.

Sayang, situasi-situasi tersebut juga kerap kali tidak dilihat sebagai bagian dari ketimpangan ruang. Sebab itu, novelis Intan Paramaditha menyatakan perlunya melihat privilese yang menyertai. Situasi kedua penulis perempuan tadi misalnya, berbeda dengan yang dialami Intan. Ia tinggal di Jakarta, yang secara akses dan juga tata sosialnya berbeda jauh dengan yang dialami Erni maupun Raisa.

“Masalah di sastra yang sudah terjadi beberapa dekade ini saya pikir karena penulis yang menjadi penjaga gawang atau gatekeeper, si penentu keputusan itu kadangkadang tidak sadar dengan privilese yang mereka punya,” respons Intan.

Privilese ini perlu disadari, misalnya, sedari si penulis tinggal. Apakah misalnya dengan keluarga yang memang tidak terlalu terbuka, wilayah geografi s, maupun akses pendidikan. Hal-hal ini adalah sedikit contoh yang juga bisa menghambat ruang bagi perempuan penulis

“Untuk meretas ruang, penulis harus menyadari privilese. Dengan privilese yang dipunyai, apa yang bisa dilakukan untuk orang lain adalah untuk meretas ruang supaya lebih inklusif,” sambung penulis Gentayangan: Pilih Sendiri Petualangan Sepatu Merahmu (2017).


Ruang intervensi

Situasi-situasi yang menjadi permasalahan bagi lingkup sastra tersebut kemudian coba disikapi Raisa dengan salah satunya membentuk ruang aman bagi para perempuan penulis lewat kolektif Perkawanan Perempuan Menulis. Dari kolektif ini juga telah lahir karya, seperti kumpulan cerpen Tank Merah Muda (2019).

Dalam kolektif tersebut, Raisa bersama Amanatia Junda, Ruhaeni Intan, Margareth Ratih Fernandes, Armadhany, dan Astuti N Kilwouw. Mereka berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Kolektif ini bisa dikatakan sebagai pernyataan sikap atas ruang-ruang sastra yang masih teramat maskulin.

“Perempuan susah dapat waktu untuk menulis karya yang matang. Dalam prosesnya sering tersingkir dari sistem yang ada. Jadi menurut saya penting menandai diri sebagai perempuan penulis sebagai bagian dari satu penolakan sistem yang masih ada. Asumsinya tidak sama seperti proses penulis laki-laki. Perempuan punya proses berbeda. Dan proses yang berbeda ini saya melihatnya seperti gerakan, ada perempuan yang dengan sadar menjadi penulis. Menyiasati ekosistem, jadi harus tetap ada pernyataan,” kata Raisa.
Namun yang juga menjadi catatan Intan, selain terus menciptakan ruang-ruang aman bagi perempuan penulis, penting juga menciptakan ruang intervensi. Oleh karena itu, perlu bergerak dalam dua level.

“Ada satu ruang yang tidak boleh dilupakan, yaitu ruang intervensi. Ruang ini adalah yang sifatnya lebih publik. Karena secara publik memang banyak sekali penyingkiran yang terjadi. Jadi bagaimana caranya harus berupaya intervensi ruang-ruang publik. Kami menginginkan ruang yang lebih besar dan beragam. Bukan perempuan saja, tetapi juga penulis-penulis LGBTQ, penulis disabilitas. Agar tidak didominasi suara yang itu-itu saja,” kata pengajar di Department of Media, Music, Communication, and Cultural Studies Macquarie University Sidney, Australia ini.

Dalam hal ini, Intan menciptakan program semacam festival yang dinamainya Cipta Media, Etalase Pemikiran Perempuan. Nama Etalase dicatut sebab tujuannya adalah ruang untuk menampilkan interdisiplin, perempuan dengan keahlian dari berbagai lintas disiplin, dan juga sebagai bentuk pernyataan. Selama ini, dari pengamatannya, kerap kali panel sastra dijejali panelis laki-laki. Kalau pun panelis perempuan diundang, dikandangkan dalam satu panel khusus.

“Jadi kita bergerak di dua paparan, menciptakan ruang aman dan membuat ruang intervensi.” (M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Triwinarno
Berita Lainnya