Pemufakatan 'Jahat' Dongkrak Harga Cabai

KEMENTERIAN Pertanian (Kementan) menyebutkan tidak ada salahnya jika pedagang menjual cabai dengan harga tinggi. Apalagi, saat ini, belum ada harga acuan untuk menentukan harga komoditas tersebut di pasaran.

"Yang menjadi masalah adalah jika ada pemufakatan bersama untuk menjaga harga tetap tinggi seperti saat ini," ujar Dirjen Hortikultura Kementerian Pertanian Spudnik Sujono di Kantor Kementan, Senin (6/3).

Diberitakan sebelumnya, polisi menangkap dua pengepul cabai rawit merah. Keduanya dianggap melanggar UU Nomor 5/1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat karena mengurangi pasokan cabai rawit merah ke pasar dan melarikan komoditas tersebut ke beberapa perusahaan dengan kesepakatan harga Rp180 ribu per kilogram.

“Ini bukan masalah penimbunan. Ada indikasi mereka mendapatkan order khusus itu sejak Desember tahun lalu. Kemudian harga mulai naik pada 4 Januari dari Rp25 ribu per kg menjadi Rp80 ribu per kg. sekarang harga tidak turun walaupun pasokan tidak ada masalah," terang Spudnik.

Ia menyebutkan tidak ada permasalahan di sisi petani dan produksi pada saat ini.

"Masalahnya ada di pengepul besar. Saya sebutnya mereka itu bandar besar. Di setiap sentra itu pasti ada bandarnya. Di Jawa Timur contohnya, mereka juga pasti punya kaki tangan lagi di Kediri, Blitar, jadi setiap bandar pasti ada bandar turunannya lagi," sebutnya.

Spudnik mengungkapkan, dari hasil penyelidikan polisi, kedua tersangka mengaku cabai rawit merah yang mereka jual dengan harga Rp180 ribu ke industri adalah cabai dengan kualitas premium.

“Di sinilah masalahnya. Kalau memang itu cabai produk baru, seharusnya dikoordinasikan dengan Kementan dan Kementerian Perdagangan karena itu harus ditata. Kalau perlu ada kerja sama untuk itu. Kami siapkan lahan untuk tanam khusus, jadi tidak tanam di lahan yang memang untuk cabai biasa karena bisa mengganggu harga,” paparnya. (X-12)