Keramik Terbebani 33% Biaya Gas

RAPAT kebijakan industri strategis di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada Jumat (9/12) memberikan asa kepada industri keramik dan kaca untuk mendapat penurunan harga gas setelah industri petrokimia, pupuk, dan baja. Kebijakan itu diyakini bisa menumbuhkan daya saing industri keramik dan kaca yang memiliki beban biaya 33% untuk pemakaian gas sebagai bahan bakar proses produksi mereka.

“Industri keramik sangat bergantung pada gas karena sulit digantikan energi lain sebagai bahan bakar untuk mencapai kualitas yang baik. Pengaruh gas mendekati 27%-36%, tergantung jenis keramik, atau rata-rata 33%,” kata Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki), Elisa Sinaga, di Jakarta, akhir pekan lalu.

Saat ini, imbuhnya, industri keramik Indonesia menerima harga gas di kisaran US$9 per milion british thermal unit (mmbtu). Di Malaysia, harga gas industri US$5,6-US$5,8 per mmbtu. “Jika dibandingkan dengan negara lain penghasil kaca, keramik, dan sarung tangan seperti Vietnam, harga di Indonesia jauh lebih mahal.”

Alasan lainnya, kata dia, pemerintah sudah lama berjanji mengevaluasi harga gas. “Kami tidak minta turunnya harga untuk jangka panjang, tetapi hanya situasional dan itu tidak menjadikan pendapatan negara turun. Kalau harga diturunkan di hulunya, akan dapat digantikan dengan hasil hilir yang meningkat,” ucapnya.

Kendala itu ditambah kondisi industri keramik yang secara pemakaian turun karena pasar turun.

“(Turun) seberapa besar silakan, kami menerima.Industri keramik sedang sulit karena selain gempuran dari luar negeri masuk, juga permintaan dari properti turun,” paparnya.

“Volume yang digunakan untuk industri kaca hanya 1%-2% dari total gas nasional sehingga untuk penurunan harga, industri mampu berdaya saing tidak memengaruhi pendapatan secara keseluruhan,” tandasnya. (Try/E-3)