Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
AMERIKA Serikat, penghasil emisi gas rumah kaca terbesar kedua di dunia, telah berjanji mengurangi separuh emisinya pada 2030 dibandingkan dengan tingkat emisi pada 2005. Sayangnya, sejauh ini Negeri Paman Sam itu gagal mencapai target, kata para analis.
Berikut beberapa pertanyaan dan jawaban mengenai emisi Amerika dan rencana iklimnya.
Pada 2021, Amerika Serikat mengeluarkan 6,28 miliar ton setara karbon dioksida--ukuran seluruh gas rumah kaca--menurut Climate Watch, mengutip data dari Potsdam Institute for Climate Impact Research. Hal ini menjadikannya penghasil emisi terbesar kedua secara global, setelah Tiongkok.
Baca juga: Perubahan Iklim Kurangi PDB Global, Negara Miskin paling Terdampak
Namun, jika sejarah emisi diperhitungkan, yaitu emisi kumulatif sejak 1850, Amerika Serikat jelas merupakan pemimpinnya. Emisi AS mencapai puncaknya pada 2007 dan terus menurun sejak saat itu.
Transportasi merupakan penyumbang emisi terbesar di AS. Menurut Badan Perlindungan Lingkungan (EPA), sektor ini menyumbang 28% gas rumah kaca di negara tersebut pada 2021.
Baca juga: Jauhi Tingkok, Foxconn Rencanakan Investasi Tambahan di India
Sektor itu diikuti oleh pembangkit listrik yang menyumbang sekitar seperempat emisi. Selanjutnya industri (23%), sektor komersial dan perumahan (13%), dan terakhir pertanian (10%).
Pada 2022, sekitar 60% produksi listrik AS berasal dari pembangkit listrik berbahan bakar gas atau batu bara--penghasil emisi tertinggi--menurut Administrasi Informasi Energi AS (EIA). Sisanya berasal dari energi terbarukan (21,5%) dan tenaga nuklir (18%).
Pada 2021, Presiden AS Joe Biden berjanji mengurangi emisi sebesar 50%-52% pada 2030 dibandingkan dengan tingkat emisi pada 2005. Target ini merupakan bagian dari Perjanjian Iklim Paris dan diharapkan memungkinkan negara-negara dengan ekonomi terkemuka dunia mencapai netralitas karbon pada 2050.
Khusus untuk sektor energi, Biden ingin produksi listrik mencapai netralitas karbon pada 2035.
Tidak, kata para ahli, meskipun ada kemajuan yang dicapai. Pemerintahan Biden baru-baru ini mengeluarkan beberapa undang-undang dengan konsekuensi yang luas, termasuk rencana modernisasi infrastruktur besar-besaran pada 2021 yang mencakup, semisalnya pembangunan jaringan stasiun pengisian untuk kendaraan listrik.
Tahun lalu Biden juga mengesahkan Undang-Undang Pengurangan Inflasi (IRA) yang menghasilkan US$370 miliar sebagai dedikasi untuk lingkungan dalam bentuk proyek transisi energi. Ini dirancang untuk membebaskan investasi pada energi ramah lingkungan.
Pemerintah juga telah mengambil tindakan regulasi melalui EPA, seperti rencana mengurangi emisi metana dari industri minyak dan gas, dan mewajibkan pembangkit listrik tertentu untuk menyerap sebagian besar emisi CO2 mereka pada 2030. Namun menurut laporan terbaru dari Program Lingkungan PBB (UNEP), upaya-upaya ini tidaklah cukup. Jika terus begini, Amerika Serikat tidak akan dapat memenuhi target emisinya pada 2030.
Analisis yang dilakukan Rhodium Group awal tahun ini menunjukkan bahwa dua undang-undang utama yang disahkan Biden akan mengurangi emisi sebesar 32%-42% pada 2030. Ini masih jauh dari target 50%.
Laporan tersebut mengatakan masih ada peluang untuk mencapai target tersebut. Namun hal ini tidak akan mudah, sehingga memerlukan langkah-langkah ambisius lebih lanjut yang harus diambil baik di tingkat federal maupun tingkat negara bagian. (AFP/Z-2)
PT Pupuk Indonesia menandatangani Joint Development Study Agreement (JDSA) atau perjanjian studi pengembangan bersama dengan Chevron New Energies International.
Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki potensi cadangan penyimpanan karbon hingga 630 giga ton.
Pemerintah Indonesia menargetkan pengurangan emisi karbon, melalui beragam cara. Salah satu opsi yang diyakini paling berpengaruh, yakni memperkuat ekosistem kendaraan listrik.
Untuk menghadapi tantangan ini, dibutuhkan generasi muda yang peduli pada lingkungan dan memiliki pengetahuan serta keahlian membangun masa depan berkelanjutan.
PT Cemindo Gemilang, produsen Semen Merah Putih, untuk kedua kali meraih penghargaan kategori Continuing Progress in Climate Actions dari World Cement Association (WCA).
Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) membeberkan keberhasilan pemerintah Indonesia dalam menurunkan emisi karbon dan deforestasi.
Langkah nyata ini juga sebagai bentuk dukungan BMKG untuk memberikan data yang lebih akurat dalam mewujudkan target Net Zero Emission tahun 2060.
INDUSTRI menjadi salah satu sektor yang berkontribusi signifikan terhadap emisi karbon di Indonesia. Berdasarkan data di Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2024,
UI NZI akan menjadi pusat dari dua kluster riset UI, yakni Center for Excellence in Energy Transition dan Center for Excellence in Conservation and Green Economy.
Indonesia dan Norwegia memperkuat kerja sama dalam upaya konservasi dan pengurangan emisi gas rumah kaca.
Lewat Program Iklim (ProKlim), Pama memfasilitasi masyarakat untuk meningkatkan ekonomi yang berbasis pada pelestarian lingkungan hidup.
Otomasi, sebagai inti dari teknologi operasional industri, dapat mengoptimalkan proses produksi dan menjadi kunci keberhasilan transformasi digital.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved