Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
PEMERINTAH perlu memastikan wacana kewajiban pembelian listrik dari pembangkit energi baru terbarukan (EBT) oleh badan usaha milik negara (BUMN) tidak menambah beban fiskal negara.
Hal tersebut tertuang dalam Rancangan Undang-undang (RUU) terkait EBT. Pemerintah dan DPR RI diminta mempertimbangkan poin kewajiban pembelian listrik dari EBT dalam pembahasan rancangan aturan tersebut.
Berdasarkan rumusan RUU EBT terkini, masih terdapat poin kewajiban bagi BUMN untuk membeli listrik dari pembangkit EBT. Tak pelak, hal ini membebani PT PLN (Persero), keuangan negara, hingga masyarakat.
Anggota Komisi VII DPR RI Andi Yuliani Paris meminta keseriusan pemerintah untuk membahas RUU EBT. Sesuai peta jalan, rancangan beleid ini dapat disahkan pada akhir Desember 2021. Namun, ada beberapa poin dalam RUU EBT yang masih memerlukan saran dari publik.
Baca juga: Bauran Energi Terbarukan Ditargetkan Tercapai 23% pada 2025
"Ini yang kami ingin mendengar komentarnya. Ada tambahan di Pasal 40, disebutkan terdapat kewajiban BUMN terhadap pembelian listrik EBT. Kalau ada kewajiban, biasanya ada sanksi yang mengikuti," ujar Andi dalam diskusi virtual beberapa waktu lalu.
Pada poin berikutnya, dijelaskan bahwa pemerintah pusat dapat menugaskan badan usaha milik swasta di sektor kelistrikan untuk memberikan tenaga listrik yang dihasilkan. Lalu, dalam ayat kedua, terkandung kata "dapat" yang bisa dimaknai berbeda.
"Jadi berbeda, kalau BUMN harus membeli," imbuh Andi.
Akan tetapi, dia menilai kewajiban membeli listrik EBT berpotensi menyebabkan kelebihan pasokan listrik. Serta, membengkaknya biaya pokok penyediaan listrik (BPP) PLN. Mengingat, harga beli listrik EBT lebih mahal dari rata-rata BPP perseroan.
Menurut Andi, terdapat risiko kinerja keuangan PLN bakal jeblok, karena membeli listrik dengan harga yang lebih tinggi. "Soal subsidi harga, kita tahu untuk harga EBT belum dapat bersaing dengan harga energi lainnya," pungkasnya.
Baca juga: Bahlil: RI Harus Jadi Negara Penghasil Baterai Mobil Listrik Terbesar Dunia
Pengamat ekonomi energi dari ITS, Mukhtasor, berpendapat politik keekonomian yang tepat bagi Indonesia ialah pembangunan dari atas ke bawah. Menurut dia, adanya kewajiban bagi BUMN membeli listrik dari pembangkit EBT, menimbulkan dua dampak.
Rinciannya, risiko kelebihan pasokan listrik dan risiko kenaikan biaya pokok produksi listrik. Adapun persoalan lain ialah pada Pasal 51 RUU EBT, terkait kewajiban pemerintah membayar selisih pembelian dari pembangkit EBT dalam bentuk kompensasi.
"APBN akan mendapatkan tekanan tambahan. Kalau APBN dalam kondisi kaya raya, mungkin kita optimistis. Tetapi, APBN sekarang kan sedang terbeban untuk membiayai penanganan covid-19," tutur Mukhtasor.
Jika anggaran negara terbatas, ada risiko pemerintah tidak dapat membayar kompensasi. Hal itu berdampak langsung pada potensi kenaikan harga listrik, yang ujung-ujungnya membebani masyarakat.(RO/OL-11)
PLN EPI tengah mengimplementasikan program co-firing, yaitu substitusi batu bara dengan biomassa pada rasio tertentu
Menteri ESDM Arifin Tasrif meluncurkan soft energize (pemberian tegangan listrik) ke smelter PT Ceria yang bersumber dari layanan energi baru terbarukan (EBT)
Norwegia berhasil mengurangi ketergantungan pada energi fosil dan hampir mencapai 100% energi terbarukan di sektor ketenagalistrikan.
NEGARA anggota ASEAN dinilai perlu untuk mulai merencanakan berpindah dari energi fosil, khususnya batu bara.
REC adalah sertifikat energi hijau atau sertifikat energi terbarukan yang dapat digunakan untuk mengklaim konsumsi listrik dari sumber EBT.
ANGGOTA Komisi VII DPR RI Mulyanto meminta pemerintah tidak tergesa-gesa mengambil keputusan mengekspor listrik energi baru terbarukan (EBT) ke Singapura.
Anggota Komisi I DPR, Dave Akbarshah Fikarno membantah pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang dikebut.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dinilai terlalu buru-buru dalam pembahasan dan pengesahan sejumlah rancangan undang-undang (RUU), yakni RUU TNI, RUU Polri, Dewan Pertimbangan Presiden.
Revisi Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) disetujui menjadi usul inisiatif DPR RI.
Penetapan kawasan konservasi yang sentralistik tersebut mengasingkan peran masyarakat lokal maupun masyarakat hukum adat.
PAN mengeklaim Rancangan Undang-Undang (RUU) Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) diusulkan untuk memperkuat tugas dan fungsi lembaga tersebut.
Presiden Joko Widodo menolak mengomentari usulan Revisi Undang-Undang Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Ia menyerahkan hal itu sepenuhnya kepada DPR sebagai inisiator.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved