Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
SAMBIL menulis kolom ini, saya membalas cicitan netizen di akun Twitter saya. Awalnya, cicitan saya dikomentari netizen, kemudian komentar itu dikomentari netizen lain. Akhirnya, yang terjadi ialah mereka malah ribut saling mencela dan keluarlah tantangan dari salah satunya untuk ketemu dan meneruskan ributnya di dunia nyata. Langsung semua saya usir, ha ha.
Begitulah netizen Indonesia, apa saja bisa dibuat jadi masalah. Bingung sama netizen model seperti itu. Mereka itu memang enggak punya pekerjaan atau memang itu pekerjaannya?
Ternyata perkembangan teknologi dan informasi tak selamanya memberikan manfaat positif. Alih-alih mengagungkan kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat, netizen dengan bebasnya melontarkan komentar-komentar miring bernada cemooh, hinaan, bahkan fitnah. Tak jarang, semua itu berujung di meja peradilan.
Bukannya takut dengan UU ITE, banyak netizen justru makin berani untuk menghujat, bahkan menghakimi siapa pun lewat kolom komentar. Bisa jadi 'mahabenar netizen dengan segala komennya' mencerminkan fenomena netizen Indonesia zaman sekarang.
Mengapa banyak netizen yang brutal di media sosial? Bisa jadi yang pertama ialah faktor anonimitas di internet. Siapa pun bisa menjadi siapa dan apa saja di dunia maya.
Bahkan, ada yang saking niatnya untuk mengatai orang, dia membuat dua akun. Biasanya akun kedua yang anonim itu yang dia pakai untuk melampiaskan nafsu mengomentari orang lain sebuas-buasnya tanpa perlu mempertanggungjawabkannya. Jika komentarnya jadi masalah, tinggal hapus akun selesai urusan.
Lalu invisibilitas berkomunikasi di internet yang sebagian besar menggunakan teks, jadi si pemilik akun tidak perlu memperlihatkan fisiknya. Menjadi seseorang yang 'tersembunyi' menambah kepercayaan dirinya.
Belum lagi kenikmatan bermain peran dan asas equality before the internet atau kesetaraan sosial di internet, he he. Di hadapan internet, semua orang sama, tanpa memandang tingkat pendidikan, profesi, otoritas, tingkat sosial-ekonomi, dan sebagainya.
Semua orang bebas menyuarakan pendapatnya dan semua orang menganggap bahwa pendapatnya benar. Soal validitas berdasarkan kompetensi atau kredibilitas tidak diperlukan, yang penting komen.
Benar apa yang dikatakan Tom Nichols dalam bukunya The Death of Expertise. Seorang ahli bisa 'kalah' jika diserbu komentar netizen yang mahabenar dan serbatahu itu. Ciri khas netizen Indonesia ialah dengarnya setengah, mengertinya seperempat, mikirnya nol, tapi ngocehnya double he he.
Mungkin hal lainnya ialah banyak yang menganggap bahwa dunia maya itu terpisah dengan dunia nyata. Padahal, kita tahu banyak yang bermasalah dengan hukum karena perilakunya di dunia maya. Penjara itu nyata bung!
Saya bukan selebgram atau selebtwitt yang rajin mengunggah (posting) atau memberi komentar di medsos. Unggahan saya secukupnya saja, itu pun kebanyakan soal hobi atau hal yang ringan saja.
Untuk hal yang lebih berat dan sensitif, saya lebih menyukai membahasnya dalam grup tertutup. Mengapa tidak menjadikannya sebagai materi unggah di medsos? Karena saya malas berhadapan dengan para netizen yang tidak mahabenar itu.
Di awal tulisan, saya bercerita tentang 'keributan' netizen di lapak Twitter saya. Percaya atau tidak, sampai tulisan ini selesai saya buat, mereka masih saja berbalas komentar dan tambah seru karena selalu ada netizen baru yang ikut nimbrung dan mengompori.
Terima kasih sudah menjadi inspirasi saya dalam menulis. Saya dapat bayaran dari tulisan, kalian dapat apa dari keributan? (H-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved