Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
SETIAP pulang ke rumah orangtua di Bandung, saya paling banyak menghabiskan waktu mengobrol dengan bapak. Malam itu, kami berbincang mengenai betapa bangsa ini kekurangan sosok guru bangsa.
Kami sepakat ada satu sosok yang dulu pernah kami sukai. Pernah, artinya di masa lalu, karena sekarang sih enggak, he he. Sepak terjangnya begitu membangkitkan optimisme. Karena sosok itulah, saya dulu berani dan ikut turun ke jalan berdemo bersama mahasiswa lainnya menuntut reformasi.
Waktu berjalan, hilanglah sosok inspiratif itu. Di usianya yang sudah tidak muda lagi masih sering terucap darinya pernyataan yang menimbulkan kegaduhan. Hal itu diperparah dengan adanya polarisasi bangsa setiap menjelang pemilu.
Defisit guru bangsa dewasa ini terjadi karena beberapa hal. Pertama, rendahnya komitmen kebangsaan. Politik itu dinamis, ialah sebuah keniscayaan. Mungkin itu yang menyebabkan para pembesar negeri ini sering berperilaku esuk dhele, sore tempe. Sekarang ngomong ini, besok ngomong itu.
Bisa jadi hal itu karena perubahan sikap politik. Padahal, sejatinya apa pun yang diucapkan, terlepas dari dukungannya kepada siapa pun, seorang guru bangsa harus mengedepankan kepentingan bangsa.
Kedua, sistem demokrasi dan politik semakin kapitalistis, transaksional, dan menghalalkan segala cara. Bahkan Jeffrey Winters, seorang Indonesianis asal Amerika menilai negara kita ini ialah negara demokrasi tanpa hukum. Tentu saja, dalam keadaan ini spirit munculnya seorang guru bangsa pun semakin padam.
Yang ketiga ialah soal mentalitas. Alih-alih memiliki mental pemenang, yang ada ialah mental pecundang. Akhirnya, mereka yang seharusnya bisa menjadi teladan malah menjadi bahan celaan.
Memang berat menjadi seorang guru bangsa karena harus memiliki banyak syarat dan kemampuan. Selain menjadi figur teladan moral, mental spiritual, dan sosial-intelektual, guru bangsa itu idealnya memiliki kapabilitas memadai, integritas tinggi, profesionalitas mumpuni, dan aksesibilitas luas dalam memajukan peradaban bangsa.
Saat membayangkan sosok guru bangsa, yang terbayang di benak saya ialah HOS Tjokroaminoto. Dialah pelopor pergerakan di Indonesia dan guru bagi para pemimpin besar bangsa ini. Sebagai guru bangsa, keterbukaan pemikiran yang dimiliki Tjokroaminoto memberikan angin segar bagi perkembangan politik di kalangan bumiputera saat itu. Bagi Tjokro, ideologi dalam bentuk apa pun saat Indonesia belum terbentuk, ialah benar, sedangkan yang tidak benar ialah jika disertai kekerasaan.
Andai Tjokro masih ada, tentu dia bisa menjadi guru bangsa yang menyiapkan seorang pemimpin untuk bangsa ini. Dia ialah pemimpin yang memiliki keberanian Soekarno, kejujuran Mohammad Hatta, kepintaran Agus Salim, kelihaian Sutan Syahrir, dan militansi Tan Malaka,
Guru bangsa, manusia setengah dewa. Entah siapa dia, yang pasti saat ini belum ada. (H-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved