Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
DIREKTUR Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai munculnya wacana untuk mengembalikan pemilihan presiden secara tidak langsung melalui pemilihan oleh MPR adalah langkah mundur bagi demokrasi Indonesia.
Bahkan menurutnya hal tersebut lebih dari sebuah kemunduran. Rencana mengembalikan pemilihan presiden ke MPR dalam rangka memperbaiki dan mengevaluasi pemilihan presiden menunjukkan elit politik gagal memahami persoalan pemilu dan demokratisasi di Indonesia.
"Mengusulkan pemilihan presiden kembali ke MPR artinya membawa Indonesia ke masa kelam 21 tahun yang lalu. Masa dimana ratusan bahkan ribuan orang bertaruh nyawa untuk mendorong reformasi, yang salah satunya adalah lahirnya demokratisasi di Indonesia yang implementasinya antara lain kedaulatan berada di tangan rakyat dan direalisasikan melalui pemilihan presiden secara langsung," tutur Titi dalam keterangan persnya, Sabtu (30/11).
Terdapat sejumlah alasan mengapa pemilihan presiden oleh MPR adalah langkah mundur dan merusak proses demokratisasi di Indonesia.
Baca juga: Gus Sholah Tepis Pernyataan Said Aqil Soal Presiden Dipilih MPR
Pertama, dalam konsepsi sistem pemerintahan presidensil yang dianut oleh Indonesia, sangatlah bertentangan jika presiden dipilih oleh organ kekuasaan legislatif (MPR). Sebab, dalam konsep sistem pemerintahan presidensil, presiden dipilih oleh rakyat, karena mandatnya adalah mandat langsung dari rakyat sebagai pemegang kedaulatan.
"Presiden tidak boleh menjadi subordinasi dari kekuasaan legislatif dalam hal apapun, termasuk di dalam pemilihannya, karena presiden adalah pemegang kekuasaan tertinggi di negara," terang Titi.
Kedua, jika alasan pemilihan presiden oleh MPR untuk menghemat biaya politik dan dan mengatasi keterbelahan di tengah-tengah masyarakat, artinya elit politik telah gagal memahami persoalan biaya politik tinggi dan penyebab keterbelahan dimasyarakat. Biaya politik yang tinggi tidak bisa serta merta disimpulkan sebagai akibat dari pemilihan langsung.
Menurutnya seharusnya dijawab terlebih dahulu, dengan data yang sangat valid, untuk pos apakah pengeluaran uang peserta pemilu paling besar. Ia khawatir biaya besar yang dikeluarkan, justru untuk tindakan/perbuatan yang sudah dilarang di dalam UU Pemilu.
Semisal membayar tiket pencalonan, atau bahkan praktik politik uang berupa jual beli suara. Hal lain adalah biaya yang besar untuk iklan kampanye secara jor-joran di media massa yang sudah diatur oleh UU Pemilu. Kalau niatnya untuk menjawab persoalan biaya politik yang tinggi, terhadap tindakan-tindakan yang menjadi penyebabnya tadilah harusnya langkah evaluasi mesti dilakukan.
Ketiga, lambatnya reformasi partai politik merupakan salah satu agenda mendesak yang harus diselesaikan oleh elit politik. Membuat partai politik menjadi lebih demokratis di dalam pengambilan keputusan dan mewujudkan transparansi tata kelola keuangan partai merupakan hal yang mesti segera dilakukan.
Kondisi saat ini dimana partai politik dan DPR sebagai lembaga yang tingkat kepercayaan publiknya termasuk dalam kategori rendah, merupakan pekerjaan rumah mendesak untuk segera dituntaskan. Ini diperlukan untuk menjaga demokrasi Indonesia agar tetap pada jalurnya sebagaimana cita-cita dan amanat reformasi.(OL-4)
WAKIL Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jazilul Fawaid merespons polemik partainya dengan PBNU. Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf dan Sekjen PBNU Saifullah Yusuf
KONTROVERSI Tapera berujung dengan diajukannya permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Mantan Presiden Indonesia ke-5 Megawati Soekarnoputri dinilai konsisten dalam memperjuangkan nilai-nilai demokrasi dan konstitusi.
PERUBAHAN revisi Undang-Undang Wantimpres menjadi nomenklatur Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dinilai bertentangan dengan konstitusi dan semangat reformasi.
Pakar hukum tata negara Feri Amsari secara tegas menyampaikan bahwa ide untuk memunculkan kembali Dewan Pertimbangan Agung (DPA) jelas melawan konstitusi.
ANGGOTA Badan Legislasi (Baleg DPR RI) Fraksi NasDem Rico Sia menerangkan parpolnya mendorong Revisi Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden
Presiden Joko Widodo turut mengomentari aksi lima anggota Pengurus Besar Nadlatul Ulama (PBNU) yang bertemu Presiden Israel Isaac Herzog, di Israel, beberapa Waktu lalu.
Jimly Asshiddiqie merespons soal Wantimpres menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Menurutnya ketentuan nama maupun anggota DPA nantinya dapat diatur dalam undang-undang.
MKD DPR RI memberikan sanksi ringan terhadap terlapor yang juga Ketua MPR Bambang Seostayo (Bamsoet) terkait pernyataan Amandemen UUD 1945.
Peneliti senior dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Lili Romli membenarkan ada banyak kritik bahwa UUD 1945 pascaamendemen masih punya kelemahan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved