Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
PENGESAHAN Racangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) hingga saat ini dianggap belum maksimal. Untuk itu, pengesahan dalam waktu dekat dianggap terburu-buru dan akan menghasilkan rancangan UU yang tidak maksimal.
Aktivis Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Maidina Rahmawati, mengatakan bahwa berdasarkan draft terakhir yang dihasilkan Pemerintah dan DPR tanggal 28 Mei 2018, RKUHP masih menyisakan banyak masalah. Rancangannya masih membutuhkan pembahasan mendalam dari berbagai pihak, termasuk perwakilan kementerian terkait, lembaga negara lain, dan seluruh institusi penegak hukum dalam sistem peradilan pidana.
Baca juga: Masih Ada Tarik Menarik, RUU KUHP Belum Bisa Dibawa ke Paripurna
"Jadi jangan terburu-buru disahkan. Kalau memang mau disahkan harus terlebih dulu dipresentasikan ke publik setiap isi pembahasannya," ujar Maudina, dalam diskusi berjudul 'Masa Sidang V DPR: Jangan Buru-buru Sahkan RKUHP' di Bakoel Koffie, Jakarta, Minggu (5/5).
Sampai dengan draft sidang terbuka versi 28 Mei 2018 dan draft internal pemerintah terakhir yang bisa didapat yaitu 9 Juli 2018, Aliansi Nasional Reformasi KUHP mencatat sedikitnya ada 18 masalah yang belum terselesaikan dalam RKUHP. Di antaranya, masalah pidana mati yang seharusnya dihapuskan, masalah pengaturan tindak pidana korporasi yang masih tumpang tindih antarpasal dalam RKUHP, dan wacana kriminalisasi hubungan sesama jenis yang akan menimbulkan stigma terhadap orang dengan orientasi seksual berbeda.
Maudina mengatakan hal lain yang menjadi permasalahan adalah perkembangan perubahan RKUHP dihasilkan dari rapat internal pemerintah yang cenderung tertutup dan tidak dapat dikawal masyarakat.
"Selama masa penundaan, sekalipun pemerintah menyatakan terus membahas RKUHP, tidak ada satu pun perkembangan draft yang diberikan kepada masyarakat. Pemerintah dan DPR secara tiba-tiba mengklaim RKUHP telah selesai 99% dan siap disahkan," ujar Maudina.
Sementara itu, Ninik Rahayu, anggota Ombudsman RI, mengatakan bahwa masih ada beberapa isu yang masih membutuhkan pembahasan lebih lanjut dalam RKUHP, khususnya soal penyelesaian yang terkait dengan hak asasi manusia (HAM).
"Ada setidaknya 18 isu krusial yang sampai saat ini masih diperdebatkan maka perlu dipastikan betul proses harmonisasinya. Khususnya yang terkait dengan HAM," ujar Ninik.
Baca juga: DPR Akui RKUHP masih Sulit Diselesaikan
Ia mengatakan bahwa pembahasan lebih lanjut dan dengan lebih terbuka sangat dibutuhkan. Hal itu untuk mencegah adanya penolakan masif dari berbagai pihak yang berpotensi menimbulkan permohonan-permohonan uji materi pada pasal-pasal dalam KUHP nantinya.
"Jangan sampai buru-buru disahkan tapi nantinya dibawa lagi ke judicial review (JR). Meski itu mekanismenya memang ada, tapi saya rasa harus dihindari, daripada di JR mending dilakukan pembahasan yang lebih dalam dan terbuka sebelum disahkan," ujar Ninik. (OL-6)
Penguatan fungsi dan wewenang DPD RI ini penting sekali. Di era Presiden Jokowi, revisi UU MD3 justru telah mereduksi dan mengurangi kewenangan DPD RI.
ANGGOTA Badan Legislasi atau Baleg DPR RI Guspardi Gaus membantah adanya jalur khusus untuk menggolkan rancangan undang-undang hingga ke paripurna. Menurutnya DPR tetap on the track
Feri Amsari mengkritisi cara kerja dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang selama ini bekerja hanya berdasarkan pesanan dan kepentingan politik.
Formappi menilai revisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2023 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) bentuk ekspresi ketidaknyamanan DPR terhadap sejumlah kewenangan MK.
Ketidakseriusan DPR tersebut terbaca dari minimnya dinamika pelaksanaan fungsi legislasi semenjak masa sidang IV dibuka.
DOSEN dari Universitas Paramadina Joko Arizal menyampaikan keresahannya terkait mayoritas aktor politik di Indonesia tidak menjalankan cita-cita dari para pendiri bangsa.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved