Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
SETIAP tahun, hampir dua juta orang Indonesia berwisata ke mancanegara untuk memperoleh pengobatan. Akibatnya, negara kehilangan pendapatan senilai Rp97 triliun. Presiden Joko Widodo menyampaikan hal ini sebagai alasan dibangunnya Bali International Hospital pada pekan lalu dalam pidatonya saat peletakan batu pertama (27/12/2021).
Harapannya tidak akan ada lagi warga negara Indonesia yang pergi ke luar negeri untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, bahkan orang asing yang akan sebaliknya terbang ke Tanah Air. Ketika alat kesehatan di negeri tetangga, seperti Singapura dan Malaysia lebih canggih, dibanjiri dokter langganan, dan terbukti lewat waktu, mengapa pilih Indonesia? Lebih lanjut, apa insentif rumah sakit mitra, apalagi yang berada di kawasan Asia Tenggara, untuk mengizinkan pelanggan mereka beralih ke Bali selain mendapatkan biaya kerja sama per tahun?
Pada hakikatnya, Indonesia memerlukan lebih dari sekadar rumah sakit internasional untuk menangkap pelancong kesehatan, baik dalam maupun luar negeri. Pertanyaan ini hendak mengusik alasan pragmatis dari dua segi, yakni transfer teknologi dan dokter yang berdaya saing, khususnya diaspora Indonesia; pertama, transfer teknologi merupakan cara mendisrupsi alur wisata kesehatan di Tanah Air dan dunia untuk datang ke Pulau Dewata.
Kerja sama internasional itu penting, tetapi tidak akan sepenuhnya berbuah jika tidak dimaknai dengan alih daya teknologi. Kecil kemungkinan bagi rumah sakit asing yang selama ini menjadi pusat pelayanan kesehatan dunia, khususnya di kawasan yang sama, untuk mengalihkan seluruh teknologi yang dimiliki ke Bali International Hospital. Apalagi sejak pandemi saat mereka kehilangan begitu banyak pelanggan. Tindakan tersebut tentunya akan mencelakai alur kas rumah sakit asing tersebut.
Alasan mengapa selama ini banyak orang Indonesia berobat ke luar negeri adalah ketidaktersediaan atau kurang lengkapnya atau berkembangnya alat kesehatan di dalam negeri. Jika Indonesia serius untuk menjadi pusat turisme pengobatan, diperlukan strategi untuk mengakuisi teknologi terbaru dan tercanggih di dunia medis. Hal ini akan menjadi nilai tambah bagi Rumah Sakit Internasional Bali dibandingkan dengan hospital terpandang di negara lain. Ini menjadi alasan mengapa orang akan memilih berobat di Bali dibandingkan dengan di Singapura atau Penang.
Kedua, Indonesia memerlukan anak bangsa untuk pulang melayani negeri. Pada Juli 2021, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengakui Indonesia kekurangan dokter. Setidaknya 700 dokter gugur karena covid-19. Persoalan ini menjadi momentum untuk dokter Indonesia lulusan luar negeri pulang kampung. Dengan pengalaman praktik mereka di mancanegara, tentunya kehadiran diaspora Indonesia ini akan membawa angin segar bagi dunia medis Tanah Air.
Indonesia punya segudang talenta di mancanegara yang ingin kembali berbakti, tetapi karena sejubil aturan tingkat pusat, daerah, dan organisasi kedokteran membuat hal tersebut hampir mustahil– baik karena remunerasi, birokratisasi, perizinan yang dipersulit, maupun masa adaptasi yang tidak berkunjung. Jika seorang dokter sudah sukses di luar negeri tetapi ingin mengabdi untuk nusa dan bangsa, mengapa mereka justru dihambat?
Masa transisi itu tidak mudah bagi seorang profesional yang sudah mapan. Jika seorang dokter ingin pulang kampung karena cinta negara, bukankah sudah sewajarnya Pemerintah memfasilitasi kesempatan tersebut seberat apapun oposisi internal demi kepentingan yang lebih besar, yakni kemajuan dunia medis Indonesia, kesejahteraan masyarakat, dan pendapatan negara? Jangan sampai talenta kita akhirnya berkontribusi bagi negara asing karena hambatan ini.
Seperti kata Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir saat groundbreaking Rumah Sakit Internasional Bali, "Ini tentu kita [Indonesia] harus introspeksi diri…" Inisiasi pembangunan tersebut sangat positif, tetapi introspeksi tersebut tidak boleh berhenti sampai di tahap pembangunan rumah sakit saja. Butuh terobosan baru.
Pemerintah dan BUMN harus memastikan kemudahan berpraktik bagi dokter diaspora Indonesia di Rumah Sakit Internasional Bali. Di Kawasan Ekonomi Khusus Kesehatan, sudah seyogianya Ikatan Dokter Indonesia (IDI) memperbolehkan dokter berkewarganegaraan Indonesia lulusan luar negeri yang telah memiliki izin praktik di mancanegara untuk langsung berpraktik tanpa penyesuaian apapun, layaknya seorang ekspatriat, karena sejatinya mereka adalah anak bangsa.
Dokter diaspora
Pada Agustus 2020, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mencanangkan rencana untuk mempermudah izin praktik untuk dokter berkewarganegaraan asing. Lebih dari satu tahun, wacana tersebut masih merupakan sebuah imajinasi, mengingat dokter diaspora Indonesia yang notabene sesama anak bangsa bahkan belum diterima dalam sistem kedokteran Tanah Air hanya karena cap ijazah perguruan tinggi dunia. Padahal Indonesia kekurangan dokter.
Sudah seyogianya Indonesia membuka pintu selebar-lebarnya bagi orang Indonesia bertalenta global– dokter diaspora Indonesia. Di era globalisasi, terutama Masyarakat Ekonomi ASEAN, kompetisi dengan talenta dunia tidak lagi dapat dielakkan. Kepulangan dokter Indonesia dari mancanegara harus dipandang bukan sebagai kompetisi tetapi justru diapresiasi luar biasa karena mereka rela meninggalkan karir yang stabil untuk mengabdi bagi negeri.
Kehadiran dokter diaspora Indonesia akan membawa segudang pengalaman dan membuka kesempatan bertukar pikir dan bersinergi dengan, serta transfer pengetahuan dan keterampilan kepada dokter lulusan dalam negeri. Hal ini akan mendukung visi besar Pak Jokowi untuk mewujudkan sumber daya manusia yang unggul demi menyongsong Indonesia Emas pada 2045.
Jika Pemerintah serius ingin menjadikan Bali sebagai pusat pelayanan kesehatan dunia dan memikat dua juta orang Indonesia dan juga wisatawan mancanegara, bangsa ini perlu lebih dari sekadar bangunan mewah; sistem kedokteran Tanah Air butuh terobosan baru. Sistem kesehatan tidak sebatas pelayanan tetapi juga perlu ditopang dengan pendidikan, penelitian, dan pengembangan berkualitas tinggi.
Teknologi dan talenta global, terutama dokter diaspora Indonesia, adalah kunci jawaban untuk meningkatkan kualitas sistem kesehatan nasional. Dengan kualitas papan atas, rasa kepercayaan pasien dan citra sistem kesehatan akan terbangun seiring berjalannya waktu. Indonesia perlu lebih dari sekadar nama rumah sakit ‘internasional’ untuk menjadi tuan rumah pelayanan kesehatan kelas dunia.
Tulisan ini adalah pendapat pribadi
Dia menjelaskan gangguan ginjal pada anak-anak berbeda dari gangguan ginjal pada dewasa. Adapun kasus yang sering ditemukan, kata dia, kelainan bawaan.
Kasus gagal ginjal kronik yang membutuhkan cuci darah di RSHS jumlahnya mencapai 10-20 anak per bulan
DIBANDING rumah sakit swasta, puskesmas di Indonesia dinilai tidak sembarangan memberikan antibiotik.
ANAK merupakan pihak paling terpapar pada pelayanan yang tidak perlu atau overtreatment di pelayanan kesehatan. Hal itu diungkapkan oleh pendiri Yayasan Orang Tua Peduli Purnamawati Sujud.
Rumah sakit dilarang memberikan susu formula (sufor) untuk bayi yang baru lahir tanpa indikasi medis, agar tidak menyulitkan ibu untuk menyusui anaknya secara eksklusif
Sebuah kedai kopi di Mall Bogor Junction (Jogya Junction) terbakar pada Selasa pagi sekitar pukul 03.30 WIB. Seorang satpam dilarikan ke rumah sakit karena sesak nafas.
Jika penempatan dokter dan tenaga kesehatan lainnya dikendalikan oleh pemerintah pusat, dokter dan tenaga kesehatan yang bertugas di daerah bisa mendapat kepastian karier dan insentif.
Tingginya aktivitas fisik dan rasa ingin tahu yang besar pada anak-anak sering kali menjadi faktor penyebab utama terjadinya cedera dan luka.
Ketua Umum PB IDI Adib Khumaidi menyampaikan kekhawatirannya terhadap eksekusi kebijakan kesehatan yang dinilai masih semrawut dan tidak tepat sasaran.
IKATAN Dokter Indonesia (IDI) menekankan bahwa pemerintah harus adil kepada dokter lokal. Khususnya gaji bagi dokter lokal harus lebih tinggi dari dokter asing.
Rasio dokter spesialis terhadap penduduk Indonesia di tingkat nasional 1,5 per 10.000 penduduk.
JDN merupakan asosiasi yang beranggotakan para dokter muda dengan usia di bawah 40 tahun itu dibentuk untuk membangun hubungan yang lebih kuat dan mendorong kolaborasi antardokter muda.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved