Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
SEBAGAI garda terdepan sistem kesehatan, vaksinasi bagi tenaga kesehatan bersifat krusial. Angka positivity rate yang mencapai 32,82% beberapa waktu lalu mengindikasikan dari 100 orang yang dites ada 32 positif terinfeksi covid-19. Hal ini tentu semakin meningkatkan risiko tertular di kalangan tenaga kesehatan (nakes), ditambah lagi risiko tinggi terinfeksi ini disertai potensi mereka dapat menginfeksi pasien, kolega dan keluarga. Sehingga menjadi lumrah apabila nakes menjadi prioritas penerima vaksin covid-19.
Akan tetapi menjadi populasi prioritas program vaksinasi tidak berarti semua tenaga kesehatan akan dengan mudah mau divaksinasi. Meskipun antusiasme mereka tinggi untuk menjadi penerima pertama vaksin, perlu diperhatikan juga adanya populasi nakes yang tidak bisa divaksinasi karena kondisi kesehatan dan yang ragu akan vaksin ini.
Dalam survei nakes di Amerika, ditemukan bahwa 29% ragu akan program vaksinasi covid-19 dengan berbagai alasan berbeda. Data ini dapat kita jadikan gambaran bahwa ada potensi keraguan atau penolakan nakes terhadap program vaksinasi di Indonesia. Meyakinkan nakes mendukung vaksinasi penting untuk setidaknya tiga alasan; pertama, mereka memiliki risiko tinggi terpapar, menvaksinasi nakes menurunkan risiko mengalami covid-19 bergejala dan memastikan krisis sumber daya manusia yang penting dalam penanganan pandemi tidak terjadi. Kedua, nakes adalah sumber utama informasi kesehatan bagi masyarakat yang dipercaya dan dapat memengaruhi masyarakat secara luas.
Rasio dokter-pasien Indonesia saat ini terasa berpengaruh karena satu dokter bisa melayani hingga 1.400 masyarakat. Mengimplikasikan bahwa kepercayaan atau keraguan satu dokter pada efikasi dan program vaksinasi, bisa berpengaruh pada kesediaannya untuk mengedukasi ribuan masyarakat untuk ikut divaksinasi. Ketiga, tenaga kesehatan bersama dengan pemerhati kesehatan masyarakat dan akademisi juga berperan dalam proses monitoring dan advokasi program vaksinasi. Memastikan cakupan vaksinasi sampai pada target populasi yang membutuhkan dan vaksinasi mencapai angka yang dibutuhkan.
Ketika terjadi perubahan atau adanya implementasi program baru, secara alami akan ada kelompok yang pada awalnya menolak perubahan yang terjadi terlepas dari apakah efek dari perubahan itu menguntungkan atau merugikan. Dalam teori psikologi perubahan, Everett Rogers menjelaskan persepsi individual terhadap suatu perubahan bergantung pada motivasi dan keuntungan serta seberapa sulit usaha yang dibutuhkan untuk menerapkan perubahan tersebut.
Rogers membagi kelompok masyarakat menjadi lima kategori tergantung seberapa mudah perubahan bisa diadaptasi. Kelima kelompok ini adalah innovator, early adaptor, early majority, late majority dan late adaptor. Ia menjelaskan titik kritis perubahan berada pada ambang di mana ide atau perilaku baru bergerak dari tidak biasa menjadi umum. Banyak contoh yang bisa kita lihat di keseharian misalnya penggunaan ponsel, pakaian bahkan hobi baru.
Perlu untuk dipahami bahwa program vaksinasi sebagai usaha kesehatan masyarakat bukanlah semata menerjemahkan mentah-mentah ilmu pengetahuan dan hasil penelitian menjadi sebuah program. Ada faktor ekonomi, budaya, politik dan psikososial yang perlu dipertimbangkan dan mempengaruhi keberhasilan cakupan vaksinasi baik di kalangan nakes maupun masyarakat umum.
Sehingga berdasarkan teori tersebut, setidaknya ada dua hal yang bisa dilakukan untuk meningkatkan angka inokulasi vaksin pada nakes. Pertama, dengan mengidentifikasi early adopters atau mereka yang bersedia divaksinasi pada awal dilaksanakannya program. Ini berarti mengagendakan vaksin untuk para pemimpin dan tokoh di kalangan nakes. Hal ini sudah dicontohkan oleh ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) nasional dr. Daeng M Faqih yang turut menjadi penerima vaksinasi perdana. Pendekatan serupa juga perlu diadaptasi oleh pemimpin IDI dan organisasi kesehatan lainnya di tingkat daerah masing-masing.
Diadaptasinya vaksin covid-19 oleh para tokoh ini akan mampu meningkatkan kepercayaan dan mendorong nakes untuk divaksinasi. Kedua, mengidentifikasi isu-isu yang menghalangi nakes untuk divaksinasi, termasuk membantu mereka yang ragu atau berkemungkinan menolak vaksinasi karena meskipun nakes mengerti tentang pentingnya vaksinasi, beredarnya misinformasi bisa menimbulkan kesangsian dan menurunkan kepercayaan pada program vaksinasi. Strategi ini penting untuk mencegah misinfomasi dan rendahnya angka inokulasi, serta mencegah meluasnya informasi yang tidak tepat yang diedukasikan kepada masyarakat umum.
Vaksinasi memang bukan satu-satunya cara kita bisa keluar dari pandemi ini. Namun vaksin adalah salah satu upaya penting dalam menekan angka infeksi dan kegawatan akibat covid-19 terutama untuk garda terdepan sistem Kesehatan kita. Angka cakupan vaksinasi pada nakes akan menjadi gambaran dan menentukan keberhasilan program vaksinasi covid-19 di Indonesia dan untuk itu kita perlu berstrategi pada semua lini.
Prof. Hinky juga menampik klaim keliru yang beredar di media sosial, yaitu anak yang tidak divaksinasi bebas dari infeksi telinga dan pengobatan antibiotik.
Dikuatirkan informasi sequence genomic pathogen dari indonesia dikapitalisasi oleh pengembang vaksin negara maju dan kita tidak dapat benefit yang setara.
Di samping PABS hal lain yang perlu diperhatikan yaitu pendanaan dan transfer teknologi.
Isu efek samping vaksin covid-19 AstraZeneca. Ia mengatakan peringatan soal efek sampik dari roduk vaksin itu sudah diumumkan sejak 2021.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menanggapi kehebohan soal efek samping vaksin covid-19 AstraZeneca. Menurut Budi, efek samping vaksin tersebut telah diketahui sejak lama.
Komisi Nasional Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi memastikan sampai saat ini tidak ada kejadian sindrom trombosis dengan trombositopenia.
Jika penempatan dokter dan tenaga kesehatan lainnya dikendalikan oleh pemerintah pusat, dokter dan tenaga kesehatan yang bertugas di daerah bisa mendapat kepastian karier dan insentif.
Tingginya aktivitas fisik dan rasa ingin tahu yang besar pada anak-anak sering kali menjadi faktor penyebab utama terjadinya cedera dan luka.
Ketua Umum PB IDI Adib Khumaidi menyampaikan kekhawatirannya terhadap eksekusi kebijakan kesehatan yang dinilai masih semrawut dan tidak tepat sasaran.
IKATAN Dokter Indonesia (IDI) menekankan bahwa pemerintah harus adil kepada dokter lokal. Khususnya gaji bagi dokter lokal harus lebih tinggi dari dokter asing.
Rasio dokter spesialis terhadap penduduk Indonesia di tingkat nasional 1,5 per 10.000 penduduk.
JDN merupakan asosiasi yang beranggotakan para dokter muda dengan usia di bawah 40 tahun itu dibentuk untuk membangun hubungan yang lebih kuat dan mendorong kolaborasi antardokter muda.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved