Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
BAHASA merupakan salah satu dari banyak aspek budaya yang harus dilestarikan. Upaya-upaya untuk menurunkan bahasa Jawa dari generasi ke generasi penerus tentu saja harus dilakukan agar tidak punah ditelan zaman.
Bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa daerah di Indonesia dengan jumlah pengguna yang banyak. Menurut Pusat Studi Bahasa di Florida Lingua Edu, bahasa Jawa digunakan oleh 98 juta orang dan merupakan bahasa dengan pengguna terbanyak ke-16 di dunia.
Jika berbicara tentang merawat bahasa, masyarakat Jawa kuno menggunakan aksara Jawa sebagai tradisi untuk mewariskan kebudayaan. Memahami akar aksara Jawa juga sangat penting karena terdapat segudang filosofi tentang kehidupan yang bisa diambil oleh penggunanya.
Baca juga : Museum Keramik, Tekstil, dan Wayang di Jakarta Kembali Dibuka
Selain sebagai media komunikasi antar manusia, bahasa sebenarnya memiliki makna yang lebih dari sekadar fungsi praktis. Bahasa tidak melulu soal text dan verbal, tetapi lebih dalam, membangun pola pikir pengguna untuk memaknai kehidupan.
Maka, bahasa yang sudah menjadi tradisi resmi masyarakat Jawa sejak abad 17 masehi ini harus terus diturunkan kepada generasi muda, agar pelajaran penting soal sejarah dan filosofinya tidak terputus.
Menurut jurnal yang ditulis oleh tenaga pendidik Universitas Negeri Yogya (UNY) Fatkur Rohman, aksara di seluruh nusantara tak luput dari dinasti Pallawa yang menguasai Asia Selatan. Dinasti ini menciptakan aksara Pallawa yang kemudian berkembang menjadi aksara Kawi, hingga menjadi aksara Jawa.
Baca juga : 592 Siswa SD-SMP Ikuti Festival Ketoprak Pelajar Klaten
“Aksara Jawa yang kita kenal sekarang ini merupakan perkembangan dari aksara Pallawa,” tulis Fatkur dalam jurnal berjudul ‘DUNIA BATIN JAWA: Aksara Jawa Sebagai Filosofi dalam Memahami Konsep Ketuhanan’.
Namun, terdapat juga versi sejarah dari legenda yang menyatakan bahwa aksara Jawa tercipta dari seorang pemuda sakti bernama Aji Saka.
Dikisahkan, Aji Saka membawa dua pengawalnya yakni Dora dan Sembada dalam perjalanan menuju Medang Kamulan. Tujuannya menuju ke sana adalah membantu masyarakat mengenyahkan Prabu Dewata Cengkar yang memiliki kegemaran memakan manusia.
Baca juga : Jawa Timur Borong Sertifikat Cagar Budaya Nasional
Di tengah perjalanan, Aji Saka, Dora, dan Sembada sempat berhenti di Pegunungan Kendeng. Pemuda sakti ini pun menitipkan keris kepada Sembada untuk dijaga dan memerintahkannya untuk menetap di tempat perhentian tersebut.
Aji Saka juga meminta Sembada untuk tidak memberikan Keris itu ke tangan manapun kecuali dirinya. Setelah meninggalkan pesan kepada salah seorang pengawalnya tersebut, Aji Saka melanjutkan perjalanan ke Medang Kamulan bersama Dora. Sebelum sampai tujuan, Aji Saka pun juga memerintahkan Dora untuk menetap sebab dia akan masuk ke Medang Kamulan sendirian untuk melawan Prabu Dewata.
Dengan kesaktiannya, pertarungan itu dimenangkan oleh Aji Saka. Dia berhasil mengenyahkan Prabu Dewata Cengkar bersama dengan kegemarannya memakan manusia.
Baca juga : Mengenal Sumbu Kosmologis Yogyakarta yang Jadi Warisan Budaya Unesco
Setelah menolong masyarakat Medang Kamulan dari bahaya raksasa lalim tersebut, Aji Saka ingat bahwa dia menitipkan keris pusakanya kepada Sembeda. Lantas, Aji Saka langsung menemui Dora, memerintahkan pengawalnya itu menuntaskan ingatannya. Dengan patuh, Dora pun segera menuju ke Pegunungan Kendeng untuk memenuhi perintah Aji Saka mengambil keris dari Sembada.
Setelah bertemu, dua sahabat itu melepas kerinduan dengan akrab. Mereka bercengkrama dengan hangat, hingga Dora menyampaikan tujuannya datang adalah untuk mengambil keris pusaka Aji Saka.
Sembada sebenarnya mengerti niat Dora, mereka berdua pengawal yang patuh pada perintah Aji Saka. Namun, Sembada diperintahkan untuk tidak membiarkan keris pusaka tersebut jatuh ke tangan orang lain, selain junjungannya itu. Permintaan Dora pun dengan terpaksa ditolaknya.
Baca juga : PPIT Nanjing Promosikan Budaya Dan Pariwisata Indonesia di Tiongkok
Keakraban pun lenyap dan berubah menjadi perdebatan kusir untuk menjelaskan perintah Aji Saka kepada masing-masing pengawalnya. Keadaan yang dimulai dengan hangat itu pun semakin memanas. Pertarungan tak terelakan, dua sahabat ini mulai beradu kesaktian untuk mempertahankan kesetiaannya.
Aji Saka yang perintahnya diperdebatkan pun tak tahu-menahu soal hal ini. Dia yang khawatir sebab Dora tak juga kembali dari Pegunungan Kendeng, bergegas untuk menemui dua pengawalnya. Sesampainya di sana, Aji Saka tak menyangka melihat Dora dan Sembada telah tewas.
Dia pun kembali mengingat pesannya pada Sembada untuk mempertahankan keris tersebut. Rasa bersalah langsung menghantam Aji Saka setelah mendapati perintah yang keluar dari mulutnya berujung maut. Perasaan sedih dan haru yang menjadi satu, mendorong Aji Saka memberi penghormatan pada dua pengawalnya dengan menggores sebuah puisi di atas batu, yang berbunyi:
Baca juga : Aksara Nusantara Bisa Bantu Pahami Karakter Indonesia
Ha Na Ca Ra Ka = ono wong loro (ada dua orang)
Da Ta Sa Wa La = podho kerengan (mereka berdua berkelahi)
Pa Dha Ja Ya Nya = podho joyone (sama-sama kuatnya)
Baca juga : Peru Kembalikan 73 Koin Kuno Era Romawi ke Italia
Ma Ga Ba Tha Nga = mergo dadi bathang lorone (maka dari itu jadilah bangkai semuanya / keduanya mati karena sama kuatnya)
Barisan puisi penghormatan kepada dua pengawal Aji Saka, Dora dan Sembada ini kemudian dikenal sebagai aksara Jawa.
Kisah pertarungan kedua pengawal, Sembada dan Dora untuk mempertahankan kesetiannya sebagai pengabdi perintah Aji Saka memberikan gambaran nilai spiritual. Begitupun dengan perjalanan Aji Saka mengalahkan Prabu Dewata Cengkar untuk menolong masyarakat Medang Kamulan. Keseluruhan cerita ini, menunjukkan Aksara Jawa memiliki dasar filosofi dan konsep ketuhanan.
Baca juga : Delman
Pelajaran filsafat berdasarkan Aksara Jawa dalam Ha-na-ca-ra-ka adalah utusan hidup, berupa napas yang punya kewajiban untuk menyatukan jiwa dengan raga. Dalam kehidupan manusia, harus ada yang mempercayai, dipercaya, dan dipercayakan untuk bekerja. Ketiga unsur tersebut adalah manusia, Tuhan, dan kewajiban manusia untuk menjalankan kehidupan sesuai kodrat sebagai ciptaan. Seperti dalam kisah Aji Saka, keberadaan Sembada dan Dora adalah untuk mematuhi perintah yang sudah diturunkan kepada masing-masing mereka
Da-ta-sa-wa-la adalah filsafat hidup tentang garis yang sudah dikehendaki Tuhan kepada manusia. Setelah diciptakan hingga akhirnya kembali dipanggil oleh Tuhan, manusia tak bisa mengelak dari takdirnya. Maka di dunia ini manusia harus bersedia menerima dan melaksanakan garis yang sudah ditasbihkan. Perkelahian antara Dora dan Sembada sebagai abdi Aji Saka tidak terelakan. Mereka pun bertarung untuk menjaga kesetiaan yang sudah digariskan pada kehidupan mereka.
Pa-dha-ja-ya-Nya memiliki definisi menyatukan sang Khalik dengan makhluk yang diciptakan. Pelajaran ini tentang proses manusia menjaga kesesuaian dan kecocokan batin yang tercermin dalam perbuatan berdasar pada keluhuran. Kekuatan yang dimiliki oleh Dora dan Sembada untuk mempertahankan kesetiaan menggambarkan pelajaran ini. Pun demikian, kekuatan yang dimiliki harus dipakai secara sportif dan tidak menghalalkan segala cara.
Baca juga : Karnaval Tahunan Cape Town Minstrel Kembali Digelar
Ma-Ga-Ba-Tha-Nga memiliki arti penerimaan manusia terhadap semua perintah dan larangan yang diturunkan oleh Tuhan. Manusia hanya dapat pasrah, berjalan searah dengan kodrat yang sudah disediakan Tuhan, walaupun pada akhirnya manusia juga harus mencari solusi terhadap masalah-masalah hidup.
Makna filosofis dalam aksara Jawa ini tentu saja sangat berpengaruh pada kehidupan pemakainya. Walaupun seringkali hanya dianggap media komunikasi, terdapat banyak sekali pelajaran-pelajaran yang dapat dipetik dari sejarah aksara Jawa. Maka dari itu, tradisi ini harus terus diturunkan agar pola pikir dan konsep tentang kehidupan terus terjaga dalam kepala generasi muda. (Z-10)
Baca juga : Sejarah Barongsai, Tarian Pengusir Roh Jahat
Kalangan pendidikan usulkan informasi tentang kelapa sawit dimasukkan dalam muata lokal sekolah
Sosialisasi pilkada serentak juga dilakukan jajaran KPU dengan mendatangai SMA dan SMK di Kabupaten Bandung. KPU menyasar pelajar yang mempunyai hak pilih, tapi belum terdaftar.
Peran generasi muda dalam kemajuan kebudayaan tidak dapat dipisahkan. Terlebih, sebagai penerus, mereka akan menjadi tonggak estafet kemajuan budaya di masa depan.
Jumlah mahasiswa asal Indonesia di Taiwan terus bertambah, menunjukkan peningkatan minat pelajar Indonesia untuk menempuh pendidikan di sana.
OJK mengungkapkan total tabungan di program Satu Pelajar Satu Rekening (Kejar) mencapai Rp32,84 triliun. Jumlah ini berasal dari 57,05 juta peserta.
Kehadiran para pelajar di GIIAS 2024 memberikan mereka kesempatan untuk melihat secara langsung inovasi-inovasi terbaru dari merek-merek otomotif terkemuka.
Sejak awal berdirinya, Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) selalu menjadi tempat favorit bagi para seniman di Solo Raya untuk mengekspresikan karya mereka.
Sang Kembang Bale adalah pertunjukan yang mengangkat kesenian Ronggeng Gunung dari Ciamis dan Pangandaran yang menawarkan nuansa spiritual bagi penontonnya.
Pementasan ini terinspirasi dari kesenian Ronggeng Gunung, seni klasik dari Jawa Barat.
Beberapa event yang bisa jadi pertimbangan untuk dikunjungi yakni Festival Lembah Baliem hingga Dieng Culture Festival
Kolaborasi ini tidak hanya bertujuan meningkatkan nilai estetika produk, tetapi juga membantu seniman lokal untuk lebih dikenal.
Kegiatan Residensi Pemajuan Kebudayaan 2024 merupakan pengembangan dari kegiatan Belajar Bersama Maestro, yang sebelumnya hanya melibatkan pelaku budaya di bidang kesenian saja.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved