Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
FILM dokumenter panjang berjudul Oma, yang disutradarai Armin Septiexan dan diproduseri Lodimeda Kini, menjadi satu-satunya proyek dokumenter Indonesia yang berkesempatan melakukan presentasi di Cannes Docs dalam rangkaian Marche du Film (MdF) Festival Film Cannes 2024.
Film Oma menjadi satu dari total empat proyek dokumenter panjang yang dibawa Docs by The Sea ke Cannes Docs.
Dengan presentasi di Cannes Docs MdF, film Oma akan bertemu dengan para mitra kolaborator internasional untuk membantu selesainya film tersebut.
Baca juga : Di Festival Film Cannes 2024, JAFF Umumkan Keberadaan JAFF Market
Proyek dokumenter Oma dimulai pada 2016 ketika Armin membaca sebuah buku berjudul Memori Terlarang. Buku itu berisi tentang kutipan-kutipan atau cerita-cerita lisan dari para penyintas kekerasan genosida 1965 yang ada di Nusa Tenggara Timur (NTT).
“Kebetulan karena saya tinggal di Nusa Tenggara Timur, jadi ketika saya baca buku itu saya penasaran. Kira-kira apa yang ada di buku ini, dia akan seperti apa ketika kalau saya membuat filmnya. Pada 2019, akhirnya, saya memutuskan untuk bertemu langsung dengan penyintasnya dan ingin mendengar langsung dari mereka. Akhirnya saya bertemu dengan karakter utama film Oma, yaitu Oma Net Markus,” cerita Armin usai melakukan presentasi di Cannes Docs Marche du Film di Festival Film Cannes 2024, Cannes, Prancis, Jumat (17/5).
Film Oma juga menjadi dokumenter ko-produksi Indonesia dan Filipina dengan bergabungnya produser asal Filipina, Armi Cacanindin.
Baca juga : George Lucas akan Dapat Penghargaan Kehormatan di Festival Film Cannes
Digarap selama lima tahun, Oma diproyeksikan rampung pada awal 2025, jika memang bertemu dengan kolaborator baru untuk mewujudkan film tersebut.
“Sayangnya, walaupun kami sudah hampir di pengujung masa selesai produksi, memang secara finansial masih jauh dari cukup. Dengan adanya ko-produser dari Asia, kami bisa melamar beberapa forum pendanaan. Harapannya di Cannes Docs kami bisa bertemu dengan calon ko-produser Eropa. Sehingga kami bisa mengakses pendanaan dari Eropa untuk memenuhi kekurangan-kekurangan pendanaan yang kami miliki sehingga bisa menyelesaikan filmnya. Kalau semua lancar, kami bisa menyelesaikan filmnya awal tahun depan. Karena sekarang kita sudah mau memasuki editing dan post-production,” tambah produser film dokumenter Oma, Lodimeda Kini.
Menggunakan pendekatan observasional, Armin menyebut produksi Oma membutuhkan waktu panjang. Pada tahap awal, ia hanya bermodal kamera 70D tanpa penata suara. Hanya sendiri, Armin mulanya memasuki kehidupan Oma Net dengan mendengarkan cerita Oma sembari mengamati aktivitas hariannya.
Baca juga : Film Dokumenter Tentang Pembuatan GWK akan Tayang Perdana di Festival Film Internasional Vancouver 2023
Rekaman hasil observasinya itulah yang kemudian ia bawa ke forum Docs by the Sea yang dihelat Indocs. Sejak itu, perjalanan dokumenter Oma berlanjut.
Salah satu yang disyukuri Lodi dan Armin adalah, untuk bisa berjalan lebih jauh, mereka mendapat fasilitasi dana FBK (Fasilitasi Bidang Kebudayaan) Dana Indonesiana yang dikelola Kemendikbudristek.
“Dari semua perjalanan, dari pitch ke pitch, dari forum ke forum kami sangat terbantu karena adanya dana perjalanan dari skema FBK. Karena mungkin kami berbeda ya dengan teman-teman yang ada di pulau Jawa. Kalau mau ke mana-mana kan dekat, murah. Tapi untuk kami bisa akses forum-forum yang hampir semuanya adanya di Indonesia bagian Barat, kami butuh biaya perjalanan yang banyak. Dan itu kami cukup terbantu dengan bisa melamar Dana FBK untuk dukungan perjalanan,” terang Lodi.
Baca juga : Ini Alasan Scorsese tidak Masukkan Filmnya dalam Kompetisi Festival Film Cannes
Lodi menjelaskan, film dokumenter Oma bercerita tentang seorang cucu yang berada di antara keluarga yang terbagi oleh sejarah.
Peristiwa kekerasan genosida 1965 membagi masyarakat Indonesia menjadi dua bagian, termasuk cucu Oma Net yang berada di persimpangan kedua neneknya yang bertolak belakang.
“Secara tidak langsung, kita, generasi sekarang, berada di titik di mana kita tidak serta merta bisa melupakan. Karena kalau kita melupakan, kita tidak akan belajar apapun tentang sejarah itu. Tapi di sisi lain, dengan kita berusaha untuk mencari tahu, atau mengingat apa yang terjadi di masa lalu, kita menanggung sebuah beban tertentu untuk hidup di masa ini sebenarnya,” lanjut Lodi tentang film Oma.
“Jadi ini satu konflik di level keluarga yang diceritakan melalui cerita Oma. Karena ada dua oma dan satu cucu yang berada di tengah-tengah dua arus sejarah yang berbeda. Harapannya kita sebagai sebuah bangsa tidak melupakan tapi kita bisa belajar dari apa yang terjadi di masa lalu,” papar Lodi. (Z-1)
Tayang dua hari di BIFAN, yakni 6 dan 10 Juli, pada dua pemutaran itu tiket film yang dibintangi Devano Danendra dan Keisya Levronka itu laris manis.
Festival Film Alternativa bertujuan memberikan penghargaan atas dampak sosial dari film-film industri yang sedang berkembang, di Indonesia acara ini akan digelar pada akhir November 2024.
Penikmat film dan pelajar di Indonesia dapat mengasah energi kreatif mereka dengan mengikuti masterclass yang diadakan dengan pakar dari Australia.
Pada MdF tahun ini, tentu lebih spesial karena lima produser Indonesia terseleksi masuk dalam Producers under the Spotlight di program Producers Network.
Project Market menjadi salah satu fokus program yang didesain sebagai platform penghubung antara bakat-bakat baru di bidang perfilman dengan para profesional industri.
Kinds of Kindness terdiri atas tiga bagian cerita dibintangi oleh pemeran yang sama. Membawa kembali komedi gelap nan absurd sang sutradara.
Dengan memboyong lima produser Tanah Air, Indonesia ambil bagian dalam Marche du Film, yang merupakan pasar film terbesar di Festival Film Cannes.
Aktor berusia 60 tahun, Matt Dillon, menunjukkan penampilan abu-abu yang memukau di karpet merah Cannes untuk filmnya "Being Maria".
Industri film Korea Selatan telah mendapatkan pengakuan internasional berkat kualitas cerita, akting, dan produksi yang luar biasa.
Masalah transparansi dari hasil karya yang diciptakan berbasis kecerdasan buatan menjadi masalah yang belum selesai.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved