Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
PEMERINTAH diminta segera bereaksi dan menangkap keluhan masyarakat nelayan indonesia, yang kini mengalami kesulitan Bahan Bakar (BBM). Hal itu di disampaikan Anggota Dewan Penasehat Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Jawa Timur Bambang Haryo dalam menanggapi Hari Maritim Nasional yang jatuh pada 23 September.
Menurut Bambang, sejauh ini pemerintah nampaknya belum bisa memberikan perhatian dan melindungi para nelayan di Indonesia. Sebab para nelayan mengalami kesulitan dalam mengoperasikan armadanya, untuk melaut.
"Untuk mendapatkan BBM bersubsidi, nelayan diminta memberikan data dari pemerintah desa dan kecamatan, dan dijatah Rp50.000 per hari, atau bila menggunakan pertalite, para nelayan hanya dijatah 6 liter," kata Bambang Haryo.
Menurut anggota DPR periode 2014-2019, kondisi yang dialami nelayan membuat prihatin. Padahal, kata Bambang Haryo, sesuai UU ESDM No 6 Tahun 2014, semestinya para nelayan berhak untuk mendapatkan BBM bersubsidi secara prioritas dengan jumlah maksimal yang diberikan 25 ribu liter perkapal perbulan tanpa melihat besar kecilnya kapal.
"Seharusnya, mereka mendapatkan jatah BBM bersubsidi tanpa dipersulit sebesar 833 liter perhari. Sebagaimana yang dikeluhkan nelayan di pesisir utara Jawa Timur, mereka hanya membutuhkan BBM sebesar 50 liter saja, perhari, namun yang terjadi bertolak belakang dengan perintah Undang-Undang," ungkap alumni Teknik Perkapalan dan Kelautan ITS Surabaya.
Ia mendorong keberpihakan Presiden Joko Widodo terhadap dunia maritim bukan sekedar jargon. Pasalnya, sejauh ini, kementerian terkait serta Pertamina belum mampu mengimplementasikan keinginan Presiden Jokowi.
"Mereka tidak paham bahwa hasil perikanan yang seharusnya melimpah di Indonesia dengan jumlah spesies ikan terbanyak nomor 2 dunia serta pusat terumbu karang terbesar di dunia dan menjadi rumah ikan," tandas penerima nominator Tokoh Maritim itu.
Sebagai negara maritim, sambung Bambang, Indonesia hanya mempunyai hasil produk perikanan sebesar 6 juta ton setiap tahun. Angka ini masih jauh lebih rendah dari produksi perikanan Tiongkok sebagai negara kontinental (daratan) yang produksinya sebesar 55,8 juta ton.
"Harusnya pemerintah sadar ikan hasil tengkapan nelayan kita dapat mewujudkan generasi cerdas, kuat dan mempunyai produktivitas tinggi dalam setiap kegiatan yang bisa mendukung kemajuan dan kesejahteraan bangsa," pungkasnya. (OL-8)
Masih banyak nelayan yang terkendala, dalam hal mendapatkan BBM bersubsidi.
Pemerintah memastikan tidak akan melakukan pembatasan pembelian ataupun penaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
Pertamina Patra Niaga terus menerapkan pendataan QR Code Pertalite untuk kendaraan roda empat.
ANGGOTA Komisi VII DPR RI Mulyanto meminta pemerintah tidak terburu-buru membuat keputusan pembatasan distribusi BBM bersubsidi.
Polda Nusa Tenggara Timur (NTT) menangkap dua warga di Kabupaten Manggarai Barat karena menjual solar subsidi yang diperuntukan bagi nelayan setempat, kepada kapal wisata.
Begitu pula dengan revisi Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak. Erick menuturkan, masih akan menunggu
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved