Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
BAGI Anda yang gila bekerja berhati=hatilah. Studi terbaru yang dilakukan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menyebutkan bekerja lebih dari 55 jam seminggu dapat meningkatkan risiko kematian akibat penyakit jantung dan stroke.
Laporan Badan Organisasi Kesehatan Dunia dan Organisasi Perburuhan Internasional PBB yang dikeluarkan Senin (17/5), dilakukan di saat pandemi covid-19 mempercepat perubahan tempat kerja yang dapat meningkatkan kecenderungan orang untuk bekerja lebih lama.
Studi yang diterbitkan dalam jurnal Environment International itu adalah analisis global pertama tentang risiko terhadap kehidupan dan kesehatan yang terkait dengan jam kerja yang panjang.
Studi ini berfokus pada periode sebelum pandemi, dan penulis mengumpulkan data dari lusinan penelitian yang melibatkan ratusan ribu peserta.
"Bekerja 55 jam atau lebih per minggu merupakan bahaya kesehatan yang serius," kata Maria Neira, direktur departemen lingkungan, perubahan iklim dan kesehatan WHO.
"Sudah waktunya kita semua - pemerintah, pengusaha, dan karyawan - menyadari fakta bahwa jam kerja yang panjang dapat menyebabkan kematian dini."
Studi tersebut menyimpulkan bahwa bekerja 55 jam atau lebih per minggu diperkirakan dapat meningkatkan sekitar 35% risiko menderita stroke, dan peningkatan 17% risiko kematian akibat penyakit jantung, dibandingkan dengan bekerja 35 hingga 40 jam.
Kebanyakan pria
WHO dan ILO memerkirakan pada 2016, sebanyak 398 ribu orang meninggal karena stroke dan 347 ribu karena penyakit jantung setelah bekerja setidaknya 55 jam per minggu.
Antara tahun 2000 dan 2016, jumlah kematian akibat penyakit jantung terkait dengan jam kerja yang panjang meningkat sebesar 42%, sedangkan angka stroke meningkat sebesar 19%.
Sebagian besar kematian yang tercatat terjadi di antara orang-orang yang berusia 60 hingga 79 tahun, yang telah bekerja 55 jam atau lebih per minggu ketika mereka berusia antara 45 dan 74 tahun.
“Dengan jam kerja yang panjang sekarang diketahui bertanggung jawab atas sekitar sepertiga dari total perkiraan beban penyakit terkait pekerjaan, ditetapkan sebagai faktor risiko dengan beban penyakit akibat kerja terbesar,” kata WHO.
Frank Pega, seorang petugas teknis dari departemen WHO Neira, mengatakan penelitian tersebut tidak menemukan perbedaan efek pada pria dan wanita yang bekerja dengan jam kerja yang panjang.
Namun, beban penyakit sangat tinggi di antara pria - yang merupakan 72% dari kematian - karena mereka mewakili sebagian besar pekerja di seluruh dunia dan oleh karena itu keterpaparan lebih tinggi di kalangan pria,” kata Pega. (AFP/M-4)
Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Afriansyah Noor, menegaskan komitmen Kemnaker untuk mendukung dan mengembangkan program pemagangan antara Indonesia dan Jepang.
PEMERINTAH berupaya untuk menarik investasi masuk ke sektor padat karya untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja di dalam negeri.
Perusahan multinasional maupun nasional di Korsel terapkan budaya kerja yang cepat
Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, menyatakan bahwa kondisi ketenagakerjaan di Indonesia pada tahun 2024 terus mengalami perbaikan.
AIBP Conference and Exhibition akan membahas tantangan dan peluang teknologi utama di Indonesia.
PEMERINTAH berkomitmen menjaga ketersediaan pangan asal ternak sebagai sumber protein hewani tinggi bagi masyarakat. Daging dan telur ayam merupakan komoditas utama peternakan
Hanya sebagian orang yang tahu bahwa ada jenis batuk psikogenik (psikis) atau batuk yang disebabkan karena faktor psikologi.
Kebahagiaan adalah pilihan hidup yang melibatkan kondisi pikiran dan perasaan kesenangan serta ketentraman. Berikut 5 kiat tingkatkan kualitas hidup dan kebahagiaan.
Mindfulness ternyata berhubungan dengan peningkatan regulasi emosi, perhatian, dan pengendalian diri.
PEMBANGUNAN Ibu Kota Nusantara (IKN) yang baru mencapai 15% sejak awal pembangunannya memunculkan ketidakpastian penugasan ASN
Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) meminta Polri merawat psikis anggota. Hal ini menyusul banyaknya anggota yang mengakhiri hidup dengan bunuh diri.
PAKAR psikologi forensik Reza Indragiri menyebut kasus bunuh diri dikalangan personel kepolisian memiliki tingkat lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat sipil.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved