Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Laporan Food Sustainable Index (FSI) 2016 yang merupakan kerja sama antara Barilla Foundation dan Economist Intelligence Unit (IU), menaruh Indonesia pada urutan kedua sebagai negara yang paling banyak membuang makanan. Terbesar kedua setelah Saudi Arabia. Per tahun, setiap individu Indonesia membuang 300 kilogram makanan mereka.
Hal ini pun berdampak pada krisis iklim yang terjadi. Menurut penuturan Manajer The Climate Reality Project Indonesia Amanda Katili, sektor pangan dari proses produksi hingga konsumsi di Indonesia turut menyumbang 30% jejak karbon. Ini turut memperparah bencana ekologis yang terjadi.
Selama 2020, Amanda mencatat ada 2925 bencana. Dengan terbanyak adalah banjir, longsor, dan puting beliung. “Sistem pangan bisa turut memengaruhi krisis iklim. Sistem pangan yang tidak benar, juga menyebabkan kelaparan, krisis pandemi seperti sekarang. Dengan misalnya manusia membuka lahan, keluar semua virus yang ada di habitatnya. Mencari inang baru, manusia. Belum lagi konsumsi hewan liar. Jadi sistem pangan dari produksi sampai konsumsi sebabkan berbagai macam krisis,” terang Amanda dalam konferensi pers virtual peluncuran buku elektronik Memilih Makanan Ramah Iklim terbitan Omar Niode Foundation, Minggu, (14/2).
Beberapa pilihan yang bisa dilakukan untuk turut ikut andil dalam perang melawan krisis iklim melalui cara konsumsi kita adalah dengan mengubah pola pangan. Amanda memerinci, salah satunya adalah dengan perbanyak konsumsi pangan berbasis nabati, dan mengurangi daging. Selain itu, memilih pangan tradisional dengan pertimbangan cara memperoleh makanan yang dekat tanpa harus menghitung jarak angkut pun bisa jadi salah satu alternatif.
“Tapi, ini pilihan kita sebagai individu itu juga akan kuat lagi jika dibantu dengan kebijakan yang disusun pemerintah,” lanjut Amanda.
Resto juga berubah
Sementara itu, pakar kuliner Indonesia yang juga koki William Wongso mengatakan memang saat ini terjadi perdebatan dalam penggunaan bahan-bahan pangan yang lebih ramah iklim. Ia pun mengatakan, saat sekarang ini memang tren makanan berbasis nabati (plant based) tengah meningkat. Tapi, jika kita belum mampu secara total pada pola makan itu, juga tidak perlu terburu-buru mendeklarasikan sebagai vegan atau vegetarian. Menurutnya, cukup kurangi konsumsi daging, dan fleksibel.
Ia juga mengatakan, restoran sebaiknya juga perlu mengubah cara bisnis mereka. Sesederhana menyertakan total konsumsi dalam satu porsi makanan yang dijual ke konsumen. Itu, bisa berdampak untuk mengurangi makanan sisa yang tidak dimakan oleh pembeli.
“Saya perhatikan, banyak restoran yang tidak pernah mendeskripsikan produk mereka. Satu porsi itu beratnya berapa. Dengan adanya pandemi ini sebaiknya juga kita harus mulai berhitung kapasitas makan kita. Jangan lapar mata. Kapasitas sekali makan kita kan enggak lebih dari 500 gram. Karena kebiasaan resto yang tidak cantumkan deskripsi produknya, akibatnya jadi orang sekali makan bisa lebih dari 500 gram, atau sudah mahal beli, ternyata yang datang sedikit,” papar William.
“Pengusaha harus jujur, mereka harus sebut, semua porsi kalau misal hanya untuk satu orang itu berapa gram,” lanjutnya.
William juga mencontohkan, beberapa resto di Italia yang juga sadar pada konsep makanan ramah iklim akan membeli bahan baku tidak lebih jauh dari 50 kilo meter dari lokasi resto mereka beroperasi. Artinya, ini juga akan mengurangi jejak karbon karena memotong rantai angkut makanan.
Tidak perlu mahal
Bila merujuk apa yang direkomendasikan Amanda dengan mengenali dan mengonsumsi panganan yang dekat dari kita, bisa ditilik pada data yang dihimpun Sobat Budaya. Sejak 2007, mereka menghimpun berbagai data kebudayaan termasuk kuliner lokal serta kekerabatannya. Upaya itu, ditujukan sebagai pemetaan.
“Dasarnya adalah kami menggunakan biologi evolusioner. Melihat kuliner dan kekerabatannya. Dengan melakukan pemetaan ini, kita bisa tahu kira-kira ketersediaan kuliner kita ini apa saja. Tidak mentok, dan sebagai upaya diversifikasi,” papar Ketua Sobat Budaya Nicky Ria.
Saat ini, setidaknya ada 60 ribu data budaya di perpustakaan mereka. Masih ada 14 ribu data yang belum diunggah. Jadi, setidaknya sudah ada 70 ribu data budaya, termasuk kuliner.
Zahra Khan, yang turut menyusun buku digital Memilih Makanan Ramah Iklim dilengkapi 39 resep Gorontalo, mengatakan tujuan pendokumentasian ini adalah untuk menceritakan dan mengenalkan makanan asal Gorontalo yang ramah iklim.
Beberapa di antaranya adalah Bilenthango, ikan yang dibelah, dibubuhi rica dan dimasak di atas daun pisang. Gohu Putungo, dan Ilepa’o, yang berasal dari larva ikan dan seringnya dijumpai pada awal bulan.
“Makanan yang ramah iklim itu tidak harus mahal. Asal rajin untuk membuat dan berkreasi, kita bisa tepiskan gengsi. Dan tujuan untuk pola hidup sehat, serta untuk alam kita yang jadi tujuan utamanya,” kata Zahra yang juga dosen di fakultas pertanian di Universitas negeri Gorontalo itu. (M-2)
Archipelago International mengadakan "Archipelago Black Box Battle" di Aston Kartika Grogol Hotel & Conference Center, Jakarta pada 25 Juli 2024.
Ada yang baru pada Festival Merah Putih (FMP), gelaran akbar yang rutin digelar setiao tahun di Kota Bogor, Jawa Barat, dalam rangka memperingati HUT ke-79 Kemerdekaan RI.
Alila Solo kembali menghadirkan acara kuliner istimewa bertajuk “Sate Nusantara Festival” yang akan berlangsung di Epice Restaurant.
Daging domba yang lembut, slow-roasted stockyard striploin MB5 yang dipanggang dengan teknik slow-roasting sehingga menghasilkan caramelized striploin dengan tekstur yang lebih lembut.
Chef Setyo Widharto (Theo) akan memandu tamu untuk menemukan keunikan dari setiap hidangan Indonesia.
Indonesia, dengan kekayaan budaya dan alamnya, menawarkan berbagai kuliner lezat, termasuk minuman tradisional yang menggugah selera.
Menurut Kementan tidak ada cara lain menghindari krisisi pangan selain mengebut program pompanisasi dan oplah.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres menyoroti bahaya fenomena cuaca panas ekstrem yang semakin meningkat di banyak negara.
Antonio Guterres, Sekretaris Jenderal PBB, mendesak negara-negara untuk bertindak menanggapi dampak panas ekstrem yang dipicu oleh perubahan iklim.
Suhu baru tertinggi yang tercatat sebesar 17,09 derajat Celcius, sedikit melampaui rekor sebelumnya sebesar 17,08 derajat Celcius yang terjadi pada 6 Juli 2023.
Untuk menghadapi tantangan ini, dibutuhkan generasi muda yang peduli pada lingkungan dan memiliki pengetahuan serta keahlian membangun masa depan berkelanjutan.
Langkah nyata ini juga sebagai bentuk dukungan BMKG untuk memberikan data yang lebih akurat dalam mewujudkan target Net Zero Emission tahun 2060.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved