Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
MENTERI Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Hamonangan Laoly menilai penolakan masyarakat terhadap Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP terjadi akibat salah paham.
"Jadi itu (salah persepsi) hanya mendapat salinan naskah RKUHP dari yang tidak jelas sumbernya dan ada yang melihat itu dan ada yang mengambilnya dari draft yang sudah dibahas beberapa tahun lalu. Padahal sekarang, sudah berubah dan yang diputus Panita Kerja DPR berbeda," terang Yasonna saat memberikan keterangan resmi di Gedung Pengayoman, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta, Jumat (20/9).
Baca juga: Muladi: Menolak Revisi KUHP Berarti Cinta Penjajahan
Menurut dia, akibat mendasarkan dari naskah akademik atau informasi tentang RKUHP yang tidak akurat membuat pemahamannya sebagian kelompok salah persepsi. Padahal pemerintah dan DPR dalam pembahasan regulasi ini mengusung pemahaman yang progresif dan menyesuaikan dengan kondisi masyarakat saat ini.
Bahkan yang paling mengerikan, kata dia, informasi yang tidak akurat dipublikasikan di luar negeri yang akhirnya menyudutkan semua pihak di Indonesia. "Jadi itu yang kita katakan yang paling mengerikan itu pers asing yang harusnya lebih kredibel, salah pula itu dan membuat citra seolah-olah kita RKUHP ini cenderung mengkriminalisasi semua," katanya.
Sementara, menurut Yasonna, RKHUP mengusung semangat antikolonialisme yang mewarnai KUHP atau sejak aturan itu diberlakukan."Pesannya jadi seperti itu. Padahal dalam RKHUP justru hukuman pidana lebih ringan daripada yang sekarang. Sayangnya, (yang menolak) seolah-olah kita ingin terus bernostalgia dengan hukum kolonial," pungkasnya.
Rancangan KUHP yang telah disepakati dalam forum pengambilan keputusan tingkat pertama antara DPR dan pemerintah pada 18 September mengandung sejumlah ketentuan yang mengancam perempuan dan kelompok rentan seperti warga miskin dan masyarakat adat. Pada saat yang sama, RKUHP tersebut juga memuat ancaman hukuman yang lebih ringan untuk sejumlah perbuatan korupsi.
Ini membuat desakan agar RKUHP tidak disetujui menjadi KUHP dalam Rapat Paripurna DPR, 24 September 2019, terus bermunculan. Pemerintah dan DPR pun masih punya ruang untuk membatalkan pengesahan RKUHP dan mengevaluasinya pada periode 2019-2024 secara lebih terbuka dan terukur.(OL-8)
KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) membeberkan hasil pemeriksaan mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan pada Senin, 29 Juli 2024.
Kemenkumham Dhahana Putra mengatakan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru memberikan pengaturan hukum yang lebih tegas mengenai kohabitasi dan perzinaan atau kumpul kebo
KPK minta Kemenkumham mencegah lima orang yang diyakini berkaitan dengan kasus suap pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR yang menyeret buronan Harun Masiku.
Kegiatan ini sebagai bentuk apresiasi atas keberhasilan masyarakat adat Sunda dalam menjaga, melestarikan dan mengembangkan kekayaan intelektual budaya mereka.
Kemenkumham kembali membuka seleksi Calon Taruna/i (Catar) Politeknik Imigrasi (Poltekim) dan Politeknik Ilmu Pemasyarakatan (Poltekip) untuk Tahun Anggaran 2024.
Progresivitas pemerintah dalam menunjukkan komitmen negara untuk menerapkan pematuhan atas prinsip bisnis dan HAM mesti diselaraskan dengan implementasi yang tepat dan efektif.
Hukuman mati tidak lagi menjadi pidana pokok tapi pidana khusus. Ini menjadi politik hukum baru dan menjadi suatu jalan tengah
INDONESIA harus berbangga dengan memiliki produk hukum asli dan menanggalkan produk hukum kolonial.
PASAL perzinaan dalam KUHP yang baru dipastikan tidak akan berdampak negatif terhadap sektor pariwisata dan investasi di Indonesia.
RUU KUHP, merupakan RUU terlama yang dibahas oleh DPR hingga disahkan.
Juru Bicara Tim Sosialisasi KUHP Nasional Albert Aries memastikan Pasal 284 tidak mengganggu ruang privat.
Menurut Yenti, engagement period atau masa adaptasi tiga tahun adalah konsekuensi dalam pembentukkan UU yang bersifat global.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved