Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
JANGAN harapkan literasi yang baik di tengah kemiskinan. Masyarakat miskin hanya berpikiran soal makan dan minum, bukan soal litetasi. Omong kosong pemerintah mengharapkan literasi kalau membiarkan kemiskinan lestari.
Demikian salah satu intisari webinar yang dilaksanakan Lima Pilar Foundation, Sabtu (29/5). Webinar tersebut menghadirkan 150 peserta dan 4 (empat) narasumber, yakni Mantovany Tapung (Unika St Paulus Ruteng), Frans Asisi Datang (UI), Tarsi Gantura (Penggiat literasi di Jakarta), dan Mikael Ambong (pengelola Taman Baca Jari-Jari Kasih, Ruteng).
Dalam webinar tersebut Mantovany memaparkan peta literasi Indonesia Indonesia berdasarkan penelitian PISA, penetrasi teknologi dan kondisi kemiskinan di Indonesia.
Baca juga: Pesta di Sikka Sudah Boleh Digelar, Ini Syaratnya
Disebutkan laporan Programme for International Student Assesment (PISA), Desember 2019, bahwa Indonesia merosot di bidang membaca, sains, matematika. Skor membaca Indonesia (371) berada di peringkat 72 dari 77 negara. Skor matematika (379) ada di peringkat 72 dari 78 negara. Skor sains (396) ada di peringkat 70 dari 78 negara.
Sedangkan riset Central Connecticut State University 2016, literasi Indonesia berada di tingkat ke-2 terbawah dari 61 negara. Hanya satu tingkat di atas Bostwana. Indonesia menduduki urutan ke-60 dari 61 negara dalam hal kemampuan literasi.
Berdasarkan hasil penelitian Perpustakaan Nasional 2017, rata-rata orang Indonesia hanya membaca buku 3-4 kali per minggu dengan durasi waktu membaca per hari rata-rata 30-59 menit.
Sedangkan jumlah buku yang diselesaikan per tahun rata-rata hanya 5-9 buku. Beda jauh dengan Singapura yang masyarakatnya bisa menghabiskan waktu 2-3 jam per hari untuk membaca dan per tahun membaca 20-30 buku.
Menurut Manto, berbagai kondisi ini disebabkan kebiasaan membaca yang belum mulai dari rumah, perkembangan teknologi yang makin canggih, sarana membaca yang minim, ketiadaan motivasi untuk membaca, dan sikap malas untuk mengembangkan gagasan, ide dan wacana.
Akibatnya, tambah Manto, berbagai ujaran kebencian, berita hoaks, radikalisme, dan intoleransi merupakan ancaman besar yang tengah melanda masyarakat Indonesia.
Survei dari CIGI-Ipsos 2016 memaparkan sebanyak 65% dari 132 juta pengguna internet di Indonesia percaya dengan kebenaran informasi di dunia maya tanpa cek dan rechek.
Kondisi tanpa cek dan rechek ini, menurut Tarsisius, diperparah kemampuan kita untuk mengolah informasi. Tidak ada niat bertanya terhadap informasi. Semua informasi dianggap benar, tepat dan layak untuk dikonsumsi.
Ini terjadi, lanjut Tarsi, karena kita sering dan suka dianggap intelek, update, keren/hits. Kita menilai kebenaran informasi berdasarkan kecepatan, bukan ketepatan. Hanya karena ingin dinilai seperti itu, cibir Tarsi.
Karena itu, menurut Tarsi, setiap informasi yang kita serap (baca) harus diolah. Salah satunya melalui bertanya. Sehingga ketika disajikan, informasi tersebut menjadi informasi yang jelas, logis, lengkap dan beragam.
Tetapi lagi-lagi kembali kepada rendahnya budaya literasi kita. Pemerintah dinilai belum mampu mengembangkan program literasi berbasis gerakan.
Sekalipun ada, hanya dianggap lebih ke arah seremonial dan insidentil yang cenderung mengarah ke sesuatu yang artifisial. Pemerintah kita masih sangat suka membuat yang populer demi popularitas bukan substansial.
Akibatnya, menurut Manto, angka putus sekolah tidak dijadikan sebagai statsitik untuk merumuskan program kebijakan yang tepat buat masyarakat. Padahal tingginya angka putus sekolah memberikan dampak yang negatif terhadap iklim literasi.
Karena tanpa budaya literasi yang memadai, lanjut Manto, kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan menjadi lemah, terlalu mudah untuk berhenti sekolah akibat ketidakmampuan ekonomi. Rantai kebodohan pun menjadi tidak berujung.
Karena rendahnya budaya literasi menjadi sebab ketidaktahuan di berbagai bidang ilmu pengetahuan. Sehingga sulit menjadikan masyarakat untuk sadar dan paham tentang peradaban.
Peradaban yang baik merupakan cermin literasi yang baik. Tetapi ketika banyak orang putus sekolah karena kondisi ekonomi yang tidak memadai, maka literasi yang baik menjadi utopis.
Di Manggarai, pada 2020, jumlah angka stunting berada pada angka 5.322 kasus. Angka kemiskinan 20,83%. Sementara IPM Manggarai 63, urutan ke-11 di NTT.
Sedangkan penduduk kategori miskin di Manggarai 58.667 jiwa (22, 91%) pada 2010. Indeks kedalaman kemiskinan Manggarai 3,57 dan indeks keparahan kemiskinan 0,85. Pengangguran di Manggarai berjumlah 5.104.
Data-data ini paling tidak mengatakan kepada kita bahwa kondisi ekonomi yang baik memberikan sumbangan positif terhadap kemajuan budaya literasi. Sebaliknya, akan menjadi tugas dan kewajiban banyak pihak untuk melakukan peran yang signfikan menghadirkan literasi yang baik.
Karena itu, webinar ini merekomendasikan kepada pemerintah daerah setempat agar memperhatikan kondisi ekonomi masyarakat jika literasi menjadi tujuan bersama.
Kemiskinan harus ditekan, pengangguran dikurangi, inovasi ditingkatkan dan pemberdayaan masyarakat tidak boleh menjadi slogan. Hanya pemerintah yang bisa diandalkan untuk berada di depan dalam menghadirkan literasi yang memadai. Tetapi sekali lagi, bukan demi popularitas lalu melupakan kerja substansial. (OL-1)
Kemenparekraf melalui Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF) kembali menyelenggarakan Floratama Academy 5.0 tahun 2024 (FA), Senin (22/7).
Civitas akademika Universitas Katolik (Unika) Santo Paulus Ruteng pada Dies Natalis ke-65 menyelenggarakan berbagai rangkaian kegiatan.
Festival Budaya Manggarai 2023 diselenggarakan di Anjungan Nusa Tenggara Timur, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta pada Sabtu dan Minggu, 24-25 Juni.
Tokoh budaya Manggarai, menyayangkan polemik soal tarian caci tidak boleh dilakukan di luar Manggarai justru datang bukan dari Manggarai.
Pekan lalu, Yayasan Ayo Indonesia (YAI) bersama pegiat sosial Robi Gamar melatih sejumlah penyandang disabilitas untuk membuat pakan babi fermentasi di Rumah Baca Aksara (RBA).
"Anak-anak membersihkan sampah plastik sedangkan orangtua mengolah lahan pertanian milik paroki dan menanam ratusan pohon,"
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved