Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
PENGHAPUSAN kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih menjadi momok dan masalah besar bagi Indonesia lantaran banyak menelan korban kalangan perempuan, terutama istri.
Kekerasan itu pun terjadi di berbagai kondisi baik di tengah publik maupun tersembunyi di dalam rumah tangga dengan berbagai bentuk seperti kekerasan fisik, psikis, seksual, hingga penelantaran ekonomi.
Wakil Ketua Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Mariana Amiruddin menjelaskan, meski Indonesia sudah memiliki UU KDRT selama 19 tahun, sikap aparat penegak hukum dalam menangani kasus-kasus kekerasan yang dialami perempuan KDRT belum memihak pada korban.
Baca juga : Anggotanya Tolak Laporan KDRT, Kapolres Bogor Minta Maaf Secara Terbuka
“KDRT ini masih dianggap sebagai masalah private atau pribadi, sehingga orang tidak mau ikut campur untuk urusan yang sifatnya keluarga atau rumah tangga karena ada keyakinan bahwa tidak boleh membuka tabu perkawinan atau rumah tangga. Maka ketika ada pelaporan dan dipraktikkan dalam penerapan hukum, aparat penegak hukum (APH) masih terbata-bata,” jelasnya saat dihubungi Media Indonesia pada Senin (20/11).
Sementara itu, Sekretaris Nasional Forum Pengada Layanan (FPL) Novita Sari Novels mengatakan, fenomena KDRT yang masih dianggap sebelah mata hingga saat ini terjadi secara merata di seluruh wilayah Indonesia. Hal itu terlihat dari pantauan pelaporan yang masuk dari masyarakat.
Baca juga : Kesaksian Korban KDRT Putri Balqis: Dipukul, Dijambak, Dicekik
“Aparat penegak hukum dalam hal ini penyidik sendiri belum sepenuhnya mendapat peningkatan kapasitas yang fokus membahas wacana gender dan KDRT. Bahkan di banyak wilayah pemahaman tentang KDRT yang bisa diproses hanya yang jenis KDRT fisik. Banyak kasus-kasus KDRT yang ketika diadukan akhirnya diarahkan oleh aparat untuk musyawarah (didamaikan),” ungkapnya.
Melihat adanya keterbatasan dan stigma tabu dalam sistem pelayanan mengenai penanganan dan pencegahan kekerasan terhadap perempuan tersebut, Mariana menjelaskan dalam waktu dekat pada awal 2024 akan segera membentuk sebuah pelatihan khusus bagi Aparat penegak hukum untuk meningkatkan kapasitas dan sensitivitas dalam menangani perkara.
“Kami juga menyadari situasi yang terjadi pada penegak hukum, bahwa perspektif mereka pun juga belum selesai tentang kekerasan berbasis gender atau diskriminasi gender. Karena itu, Komnas Perempuan berencana pada 2024 akan menaikkan kapasitas APH melalui pelatihan Akademi Komnas Perempuan untuk penguatan kapasitas, ini perlu sekali lakukan melihat kecepatan kasus yang ada,” jelasnya.
Catatan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) sejak 2001, jumlah kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan setiap tahun oleh lembaga pengada layanan, paling banyak berupa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kasus ini 60-70 persen dari total laporan.
Dari data tersebut menunjukkan bahwa setiap jam, setidaknya ada tiga perempuan yang menjadi korban kekerasan di rumahnya sendiri. Selain itu, dalam setiap dua jam, terdapat lima perempuan sebagai istri yang menjadi korban dari pasangannya.
Sementara itu, Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nahar menyampaikan tak ada tebang pilih dalam menangani kasus KDRT. Mekanisme penegakan hukum harus terus berjalan sepanjang ada unsur pidana yang dilanggar.
“Ketika kami mendapatkan laporan bahwa ada seseorang yang meninggalkan rumah, lalu diduga mengalami korban KDRT maka harus melihatnya secara holistik, penegak hukum harus melihatnya secara holistik, apakah kasusnya berkaitan dengan kekerasan dalam rumah tangga atau dalam bentuk lain. Dan jangan lupa bahwa pemenuhan hak dan perlindungan anak yang menjadi dampak dari kasus KDRT harus terpenuhi,” jelasnya. (Z-5)
Semakin hari semakin banyak korban KDRT di Indonesia. Maka, Annisa berpendapat perempuan harus mengetahui hak-haknya ketika itu terjadi.
Sesuai UU, korban KDRT yang melapor ke pihak berwajib harus langsung mendapatkan perlindungan dan kasusnya ditangani dalam waktu 1x24 jam sejak keluar LP.
Komnas Perempuan menilai putusan bebas terdakwa Gregorius Ronald Tannur menjadi catatan buruk penegakan hukum kasus kekerasan terhadap perempuan.
Koordinasi penanganan kekerasan seksual tak hanya bisa mengandalkan lembaga negara yudisial.
APARAT penegak hukum (APH) yang memiliki perspektif gender dan sensitivitas terhadap korban, sangat dibutuhkan untuk menangani kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak
MENINDAKLANJUTI putusan dari DKPP, Komnas Perempuan meminta agar ada perbaikan serta penguatan dari sistem Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di pelaksanaan pemilu.
DKPP menyoroti secara khusus isu relasi kuasa yang digunakan Hasyim Asy'ari selaku Ketua KPU dalam rangka mendekati perempuan anggota PPLN Den Haag, Belanda, berisinial CAT.
Komnas Perempuan menanggapi pemecatan Ketua KPU Hasyim Asy'ari terkait kasus asusila. Pihaknya menghormati dan mengapresiasi putusan DKPP untuk memecat Hasyim.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved