Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
BADAN Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dalam Rapat dengan Komisi III DPR RI, mengusulkan agar pemerintah mengontrol semua tempat ibadah di Indonesia. Tujuannya, agar tempat ibadah tidak menjadi sarang radikalisme.
Pandangan yang disampaikan oleh Kepala BNPT Rycko Amelza Dahniel tersebut didasarkan pada studi ke negara lain, antara lain Singapura, Malaysia, Qatar, Arab Saudi, dan Maroko. Menurut Rycko, di negara-negara tersebut, semua masjid, tempat ibadah, petugas di dalam yang memberikan tausiyah, memberikan khotbah, memberikan materi, termasuk kontennya di bawah kontrol pemerintah
Berkaitan dengan hal itu, Direktur Eksekutif SETARA Institute Halili Hasan mengatakan bahwa pihaknya setuju bahwa pemerintah perlu mengambil langkah dan kebijakan yang tepat guna untuk mencegah penyebaran paham intoleran dan radikal. Namun kontrol di seluruh tempat ibadah merupakan hal yang berbahaya.
Baca juga : BNPT Usulkan Tempat Ibadah di Bawah Kendali Pemerintah, PGI: Itu Sikap Frustasi
“Studi yang dilakukan oleh sejumlah lembaga, termasuk SETARA Institute, menunjukkan indikasi yang mengkhawatirkan terkait dengan penyebaran paham radikalisme dan ekstremisme kekerasan. Dalam kajian SETARA Institute, lembaga pendidikan dan tempat ibadah menjadi target kelompok intoleran dan radikal,” ungkapnya, Selasa (5/9).
Baca juga : Pdt Gomar Gultom Nilai Awasi Rumah Ibadah Sebuah Kemunduran
“Namun demikian, kontrol atas seluruh tempat ibadah beserta orang-orang yang menyampaikan syiar dan muatan syiar keagamaan di dalamnya, jelas bukanlah langkah yang tepat dan terukur. Langkah tersebut merupakan langkah yang lebih banyak bahaya daripada manfaatnya,” sambungnya.
Lebih lanjut, Halili menambahkan bahwa kontrol terhadap seluruh tempat ibadah berpotensi menyebabkan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan yang dijamin oleh konstitusi melalui Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, khususnya Pasal 28E Ayat (1), Pasal 28I, dan Pasal 29.
“Kontrol terhadap seluruh tempat ibadah merupakan langkah eksesif negara yang akan melahirkan restriksi atau pembatasan berlebihan terhadap kebebasan warga negara untuk memeluk agama/kepercayaan dan beribadah sesuai dengan keyakinan masing-masing,” kata Halili.
Menurutnya, solusi yang lebih tepat diambil oleh pemerintah adalah pelibatan para stakeholders, terutama kelompok dan organisasi keagamaan moderat. Reclaiming tempat ibadah dari penguasaan dan/atau target penetrasi jaringan kelompok konservatif dan radikal melalui kerja sama dengan ormas keagamaan moderat, seperti PBNU, PP Muhammadiyah, PGI, KWI dan ormas keagamaan moderat lainnya, akan jauh lebih lebih efektif.
“Pemerintah, misalnya melalui BNPT dan Kementerian Agama, memiliki sumber daya yang memadai untuk melakukan asesmen awal agar radikalisasi yang berlangsung di beberapa tempat ibadah Kementerian/Lembaga dan Badan Usaha Milik Negara bisa mitigasi dan kemudian ditangani secara presisi melalui kolaborasi dengan ormas keagamaan moderat tersebut,” ujarnya.
“Di samping itu, pemerintah secara kolaboratif dengan Ormas Keagamaan moderat juga dapat merekomendasikan penceramah dan topik kebangsaan yang menarik untuk didialogkan di ruang keagamaan, bukan menetapkan, apalagi mengontrol,” lanjut Halili.
Dia pun mendorong pemerintah agar lebih memobilisasi sumber daya yang dimiliki secara presisi, alih-alih mengontrol tempat ibadah. Jangan sampai langkah yang diambil oleh pemerintah justru kontraproduktif bagi jaminan hak konstitusional warga negara yang diatur oleh Undang-Undang Dasar.
Pada saat yang sama, pemerintah mesti menutup ruang bagi intoleransi dan diskriminasi yang justru memberikan energi bagi konsolidasi kelompok-kelompok radikal.
“Sebagai contoh, eksistensi Bakor Pakem (Badan Koordinasi Pengawasan Kepercayaan Masyarakat) di bawah Kejaksaan seringkali menyediakan amunisi bagi konsolidasi kelompok-kelompok konservatif dan radikal terhadap kelompok minoritas yang mereka kategorikan sesat, melalui tempat-tempat ibadah,” pungkasnya. (Z-8)
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) berupaya mencegah penyebaran paham radikal terorisme di kalangan mahasiswa.
Keberadaan Museum Nasional Penanggulangan Terorisme ini dimaksudkan sebagai salah satu strategi penanggulangan terorisme.
Tujuannya untuk membangun ketahanan keluarga terhadap berbagai ideologi yang tidak sesuai dengan kehidupan kita sebagai anak bangsa.
Perubahan dalam pola serangan teroris, yang kini lebih mengarah kepada radikalisasi generasi muda, perempuan, anak, dan remaja sebagai target utama
Kepala BNPT Komjen Mohammed Rycko Amelza Dahniel mengatakan pagu anggaran BNPT 2025 yang telah ditetapkan mengalami penurunan bila dibandingkan dengan 2024.
Dibutuhkan pendekatan secara holistik melalui pendekatan Pancasila, baik pendekatan secara ekonomi maupun sosial.
Kuasa Hukum GBI CK7 Juniver Girsang yang memastikan tidak ada aliran dana gereja yang masuk ke rekening pribadi pendeta GBI CK7.
Komunitas Simalungun di luar negeri mengadu ke Ridwan Kamil soal penutupan gereja di Purwakarta
ADCP berkomitmen memberikan dampak berkelanjutan tidak hanya bagi perusahaan, juga bagi lingkungan sekitar.
Pendirian rumah ibadah yakni peran dari FKUB, aliran kepercayaan, hingga tanda tangan dari 90 orang jemaat dan 60 orang pendukung dari masyarakat sekitar atau disebut formula 90-60.
Polisi menetapkan empat tersangka pada kasus penggerudukan ibadah mahasiswa di Setu
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mendesak jajarannya untuk mengatasi berbagai kesulitan yang ditemui masyarakat dalam membangun rumah-rumah ibadah.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved