Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
KETAKUTAN terhadap peningkatan inflasi menjadi salah satu sebab banyak negara mengalami pertumbuhan ekonomi yang melambat hingga resesi. Ketakutan itu terjadi karena situasi geopolitik dunia dan tingkat permintaan domestik di sejumlah negara menunjukkan ketidakpastian.
Direktur Eksekutif Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia Yose Rizal Damuri mengatakan kondisi tersebut sedianya sudah diprediksi banyak ekonom dunia. Banyak negara diproyeksikan mengalami resesi di penghujung 2023.
"Sebenarnya ini sudah kita prediksi sejak setahun yang lalu bahwa harusnya akan ada resesi, tetapi baru sekarang ini terlihat. Karena kelihatannya banyak perekonomian itu masih bisa menggenjot dengan sisi fiskalnya, dengan kebijakan-kebijakan fiskal yang ekspansif," ujarnya saat dihubungi, Sabtu (17/2).
Baca juga : Pertumbuhan Harus Inklusif untuk Redam Guncangan Ekonomi Global
Yose menambahkan, kebijakan fiskal yang ekspansif di sejumlah negara itu merupakan respons dari kebijakan kontraktif dari sisi moneter. Pasalnya dalam kurun waktu 1,5 tahun tingkat bunga acuan bank sentral banyak negara berada dalam level yang cukup tinggi.
Tingginya bunga acuan tak lepas dari kekhawatiran inflasi bakal bergerak liar. Meski saat ini di level global tingkat inflasi mulai mereda, namun ketakutan itu menjadi unsur yang menyebabkan banyak bank sentral urung mengendurkan kebijakan bunga acuan.
Ketakutan akan lonjakan inflasi disebabkan oleh kondisi geopolitik dunia yang belum pasti. Itu mendorong rantai pasok dunia terganggu. Sedangkan terganggunya arus distribusi barang ialah salah satu faktor penyebab inflasi.
Baca juga : Kepala IMF: Resesi AS Diperlukan untuk Taklukkan Inflasi
"Itu masih bisa terlihat baik dari sisi demand dan supply, terutama untuk berbagai komoditas yang sangat rentan terhadap isu geopolitik, terutama di Timur Tengah. Kita tahu bagaimana permasalahan-permasalahan di daerah Teluk, misalnya, yang sudah menyebabkan supply chain itu terganggu," jelas Yose.
Selain itu, banyak negara mengalami pelemahan permintaan domestik. Itu seperti yang terjadi di Jepang dan mengakibatkan perekonomian Negeri Matahari Terbit mengalami resesi.
Apa yang dialami Jepang, kata Yose, agak mengagetkan lantaran kebijakan moneter Bank of Japan tak terlalu ketat seperti banyak negara lain. Berbeda dengan negara-negara lain yang permintaan domestiknya melemah karena ketatnya kebijakan moneter.
Baca juga : Inggris Resmi Masuk Jurang Resesi
"Jadi, kebijakan moneter yang sangat kotnraktif, sangat ketat, tidak bisa bertahan terus-terusan, dan harus mulai sudah direlaksasi di berbagai perekonomian," terangnya.
Melemahnya permintaan domestik sedianya juga dialami Indonesia. Hal itu dapat terlihat dari kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang menunjukkan penurunan pascapandemi covid-19.
Konsumsi rumah tangga yang selama ini berkontribusi di kisaran 55% hingga 56% kini menurun di kisaran 51% hingga 52% terhadap PDB. Faktor utamanya, kata Yose, ialah minimnya peningkatan tingkat pendapatan masyarakat, utamanya setalah pagebluk.
Baca juga : Perekonomian Indonesia Tetap Solid, Inflasi Terkendali, dan PMI Terus Ekspansif
"Permintaan dalam negeri ini juga sudah mulai menghadapi pelemahan, memang tidak turun, tetapi ada pelemahan," ujar Yose.
Dia mengatakan, pelemahan itu sebetulnya diredam oleh bantuan sosial berupa pemberian uang tunai kepada masyarakat. Itu menjadi efektif mempertahankan tingkat konsumsi lantaran penerima bantuan dapat membelanjakan uang yang diterima dan memutar perekonomian.
Namun yang menjadi soal ialah sejauh mana fiskal mampu menyediakan hal itu. Kondisi tersebut menjadi dilema, tidak hanya bagi Indonesia, tetapi juga banyak negara. Kekhawatiran peningkatan inflasi mendorong tingginya tingkat bunga acuan dan fiskal merespons dengan langkah eskpansif.
Baca juga : Berdaya Tahan, Ekonomi Indonesia belum Bisa Disebut yang Terbaik
"Permasalahannya sampai kapan itu terjadi? Itu tergantung dari berbabgai hal di luar perekonomian, terutama di situasi geopolitik, politik domestik," kata Yose.
"Kita juga bisa lihat, inflasi volatile itu datang dari harga pangan, harga pangan sudah mulai terganggu akibat pasokan di dalam negeri yang tidak terlalu baik," tambahnya.
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif dari Center of Reform on Economic (CoRE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, ekonomi global yang tengah melemah akan memberikan dampak bagi Indonesia, utamanya dari sisi perdagangan. Sebab, banyak negara yang tengah terseok merupakan mitra dagang utama Indonesia.
Baca juga : Berdaya Tahan, Ekonomi Indonesia belum Bisa Disebut yang Terbaik
"Pelambatan atau bahkan kontraksi ekonomi di Jepang ini dampaknya bagi kita adalah menurunkan kinerja ekspor kita, terutama ke Jepang. Kalau kita melihat struktur ekspor ke Jepang, banyak komoditas seperti batu bara, gas, lalu ada juga hubungannya dengan value chain manufaktur otomotif," terang Faisal.
Besarnya dampak resesi ekonomi Jepang terhadap Indonesia dapat dilihat dari kinerja ekspor manufaktur ke Negeri Samurai. Data Badan Pusat Statistik (BPS) ekspor manufaktur Indonesia ke Jepang mengalami pertumbuhan minus 9%.
"Bahkan secara tahunan itu menjadi salah satu yang paling dalam, minus 22,7%. Jadi memang ada dampaknya terhadap perdagangan kita," lanjut Faisal.
Baca juga : Bank Indonesia Perkirakan Ekonomi Nasional pada 2024 Tumbuh 5,5%
Kondisi ekonomi dunia yang melemah akan membawa pelambatan pertumbuhan ekonomi dalam negeri. CoRE Indonesia, kata Faisal, memperkirakan ekonomi Indonesia akan tumbuh di kisaran 4,9% hingga 5% di tahun ini, lebih rendah dari capaian 2023 yang tercatat 5,05%. (Z-3)
Presiden Joko Widodo menyambut baik rilis Badan Psuat Statistik terkait pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal pertama 2024. Menurutnya, angka 5,11% adalah hasil yang baik.
PRESIDEN Joko Widodo menegaskan pentingnya sinkronisasi dan koordinasi yang kuat antara pemerintah pusat dan daerah dalam pelaksanaan program-program pembangunan.
Optimisme juga didasari dari Bank Indonesia yang memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2024 akan meningkat dalam kisaran 4,7%-5,5%.
Data resmi bulanan pada Rabu (13/3) menunjukkan produk domestik bruto tumbuh 0,2% menyusul penurunan tipis 0,1% pada bulan Desember
Inflasi Jepang melambat kurang dari yang diharapkan menjadi dua persen pada Januari. Ini mencapai target bank sentral.
EKONOM Poltak Hotradero mengatakan hampir setengah dari keranjang belanja masyarakat Indonesia adalah makanan dan bahan pangan. Jadi kalau harga bahan pangan naik, mengurangi daya beli
INCREMENTAL Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia dinilai masih perlu diperbaiki guna mendorong investasi yang lebih efisien di Tanah Air.
KETIMPANGAN Indeks Pembangunan Manusia (HDI) yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia disoroti. Sebagai contoh, HDI Jakarta mencapai 82,46 dan Papua masih di angka 62,25.
Bank Dunia juga mengapresiasi program pencegahan dan penurunan stunting yang dilakukan oleh Indonesia.
PADA kuartal I Indonesia merealisasikan pertumbuhan ekonomi di angka 5,11%. Untuk kuartal II Center of Reform on Economics (CoRE) memprediksi pertumbuhan ekonomi hanya 4,9%-5%.
PRESEIDEN terpilih, Prabowo Subianto menegaskan bahwa dirinya optimis Indonesia bisa mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen di masa jabatannya yang akan datang.
Dengan durasi kerja tersisa tiga bulan, fokus pekerjaan Wameninves lebih kepada penyelesaian regulasi dan pelaksanaan kegiatan investasi.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved