Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
KASUS kekerasan seksual di dunia maya semakin hari semakin mengingkat. Kekerasan ini merupakan serangan terhadap tubuh, seksualitas, dan identitas gender seseorang yang dilakukan melalui teknologi digital.
Ketua Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) Willy Aditya menyebut, kekerasan seksual secara digital naik sebesar 300%. Kekosongan payung hukum tentang kekerasan seksual membuat kasus kekerasan seksual khususnya di ranah digital bak fenomena gunung es.
"Dia besar angkanya, tapi penanganan hukum dan pemberian perlindungannya belum sesuai. Payung hukumnya belum ada, kekerasan seksual disebut sebagai tindak pidana khusus tapi belum diatur dalam KUHP," ungkap Willy dalam acara diskusi Denpasar 12 bertajuk 'RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Mewujudkan Kebijakan Berbasis Bukti dalam Proses Legislasi' yang diadakan secara daring pada Rabu (28/7).
KUHP, kata Willy, baru mengatur penindakan hukum kepada pelaku pemerkosaan, perzinahan, dan aborsi. Pendekatan hukum melalui KUHP dinilai Willy belum memiliki perspektif perlindungan korban sehingga aparat penegak hukum hanya fokus pada penindakan pelaku.
"Korban seringkali dapat stigma. Jadi apa yang tidak diatur dalam KUHP itu yang akan jadi materi muatan di dalam RUU PKS," jelas Willy.
Menurut Willy, RUU PKS penting segera disahkan agar memberikan payung hukum bagi aparat dan perlindungan bagi para korban. Proses penyelesaian naskah RUU ditargetkan akan tuntas pada awal pembukaan masa sidang DPR pada 18 Agustus mendatang.
"Kita terus bekerja, kita lakukan sinkronasi dengan UU lain seperti UU ADRT, UU Perkawinan, UU ITE, UU Pornografi. Kami sedang sisir mencoba mebangun benang merahnya," ungkapnya.
Baca juga: Pembahasan RUU PDP Perlu Titik Temu
Diakui Willy, pembahasan RUU PKS telah melahirkan perdebatan yang alot. Terdapat perbenturan ideologi dan cara pandang mengenai perspepktif terhadap perlindungan perempuan serta anak-anak. Ada yang berpandangan RUU PKS akan meberikan kebebasan terhadap hasrat sensualitas seksual sehingga justru meningkatkan angka seks bebas.
"Faktanya memang perdebatan terjadi sangat alot, ini konsern kami di Panja. Saya terus bangun komunikasi yang intensif dengan semua pihak untuk kemudian mencari solusi terhadap kendala-kendala agar bisa sama-sama menjalankan niat baik," ungkapnya.
Dalam kesempatan yang sama, hadir pula sebagai narasumber yakni Jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia Nur Rofiah menilai kekerasan seksual menunjukkan hilangnya akal budi pelaku yang menjadi inti kemanuasian. Hal tersebut berdampak pada hilangnya kemaslahatan korban di berbagai sendi kehidupan.
"Kekerasan seksual haram sebab mahdarat, baik di luar atau dalam pernikahan. Zina haram, apalagi dengan kekerasan," ungkapnya.
Oleh karena itu, Nur Rofiah menyebut bahwa Jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia mendukung pengesahan RUU PKS untuk menjadi UU. Pengesahan ini bagian dari mandat negara untuk melakukan perlindungan mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab.
"Itu sekaligus mandat agama untuk menunjukan kemaslahatan bagi seluruh manusia termasuk laki-laki dan perempuan," ujarnya.
Senada, Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat (Rerie) menilai kehadiran RUU PKS harus dilihat sebagai usaha bangsa Indonesia memberikan tempat bagi kemanusiaan sehingga menjadi payung hukum untuk perlindungan warga negara.
"RUU ini dapat dilihat sebagai usaha bangsa Indonesia untuk memberikan tempat pada kemanusiaan dan inklusifisme. Pengesahan RUU PKS menjadi UU akan menjadi payung hukum untuk perlindungan hukum dan membawa bangsa Indonesia mencapai cita-cita kemerdekaan secara paripurna," ujar Rerie.
Rerie juga menjelaskan dari berbagai aspirasi publik yang ditampungnya, mayoritas menyuarakan kegelisahannya terhadap kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Menurut dia, masyarakat menilai sangat sulit menghadirkan payung perlindungan hukum dari tindakan kekerasan seksual dan itu merupakan dosa kemanusiaan.
"Dosa kita kepada para pendiri bangsa yang menyatakan kemerdekaan bangsa ini, karena negara Indonesia belum bisa hadirkan kondisi aman padahal rasa aman yang wajib dihadirkan negara," ujarnya. (P-5)
Aturan teknis sangat dibutuhkan agar menjadi landasan pembentukan unit pelaksana teknis daerah (UPDT).
Agar kehadiran beleid itu efektif mencegah dan menuntaskan kasus kekerasan seksual di Tanah Air
Sepanjang 2021 terdapat 3.838 kasus kekerasan berbasis gender dilaporkan langsung kepada Komnas Perempuan. Angka itu naik 80% dibandingkan tahun sebelumnya.
PKS merupakan satu-satunya pihak di DPR yang menolak pembahasan RUU PKS
RUU TPKS akan memuat aturan secara terperinci hingga ke aturan hukum beracara untuk melindungi korban kekerasan seksual.
Kemenag sedang menyusun regulasi dalam bentuk Peraturan Menteri Agama dengan mengikuti dinamika dalam penyusunan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved