Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Formappi: Kinerja DPR Buruk

Cahya Mulyana
07/3/2021 17:33
Formappi: Kinerja DPR Buruk
Ilustrasi(MI/Bary Fathahilah)

KINERJA DPR RI selama masa sidang III dinilai buruk dengan dasar rendahnya produktifitas di bidang legislasi, pengawasan maupun budgeting. Kondisi serupa bisa berlanjut karena perencanaan legislasi sebagai acuan tugas legislatif tidak kunjung tuntas.

"Selama masa sidang III, kinerja wakil rakyat sangat buruk karena dari rencana membahas empat RUU, faktanya hanya dua yang selesai yaitu Cipta Kerja dan Bea Materi," ujar Direktur Eksekutif Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) I Made Leo Wiratma saat memberikan keterangan resmi bertajuk Perencanaan Buruk Hasil Terpuruk, Jakarta, Minggu (7/3).

Menurut dia, masa sidang III relatif pendek, 11 Januari sampai dengan 7 Maret 2021 atau 23 hari kerja. Selain itu, rencana kegiatan fungsi pengawasan dialokasikan 50%, legislasi hanya 35%, dan anggaran 15% dari waktu yang tersedia.

Hasilnya pun, kata dia, kinerja legislasi pada masa sidang III masih melanjutkan tradisi lama yakni di bawah harapan. DPR gagal menjadikan periode kerja itu sebagai momentum untuk membangkitkan optimisme dalam meningkatkan kinerja legislasi.

"Masa sidang III justru memunculkan pesimisme sejak awal bahwa kinerja DPR di tahun 2021 tak akan lebih baik dari tahun sebelumnya," ujarnya.

Ada banyak alasan yang menyebabkan buruknya kinerja legislasi, mulai dari tata kelola perencanaan yang buruk hingga sabotase kepentingan politik yang menghambat laju pengesahan program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas.

Kepatuhan DPR pada presiden juga menambah runyamnya pelaksanaan fungsi legislasi DPR. DPR seolah-olah tanpa wibawa di hadapan keinginan presiden atas beberapa RUU. Perencanaan yang buruk di bidang legislasi ditandai oleh belum rampungnya penyusunan prolegnas prioritas yang seharusnya sudah disahkan pada masa sidang I 2020-2021.

"Bagaimana mungkin DPR dapat langsung membahas suatu RUU sementara yang harus dibahas belum ditetapkan. Oleh karena itu, rencana DPR membahas empat RUU pada masa sidang III ini menjadi utopis karena tidak memiliki dasar yang jelas dan kuat," paparnya.

Ia mengatakan prolegnas prioritas 2021 sudah ditetapkan oleh Badan Legislasi pada 14 Januari 2021. Mestinya Bamus langsung mengagendakan pengambilan keputusan di tingkat paripurna, tetapi tiba-tiba muncul pro kontra antara fraksi-fraksi dan juga pemerintah yang ingin mencabut salah satu RUU yaitu tentang Pemilu.

Kemunculan pro kontra terkait apa yang mau diatur dalam UU Pemilu lebih didorong oleh kalkulasi politik sempit masing-masing fraksi, yang ujung-ujungnya berpengaruh pada perlu atau tidaknya RUU Pemilu masuk dalam Prolegnas Prioritas. Inilah yang kami sebut dengan sabotase kepentingan politik yang menghambat penetapan Prolegnas RUU Prioritas.

Baca juga : Azis Syamsuddin Dukung KPK Ungkap Dugaan Suap Ditjen Pajak

Ke depan, DPR sebaiknya secara konsisten menetapkan Prolegnas Protitas pada akhir tahun sebelumnya. "Perencanaan itu jangan berdasarkan kepentingan pragmatis sempit tetapi untuk kebutuhan prioritas hukum nasional. Selain itu, pemerintah itu bermitra dengan DPR, karena itu DPR jangan tunduk kepada pemerintah dalam penyusunan legislasi," ujarnya.

DPR Bebas Sanksi

Ia juga mengatakan DPR sulit diberikan sanksi meskipun kinerjanya buruk. Pasalnya tidak ada institusi di atasnya.

"Hanya rakyat yang bisa memberikan sanksi dengan tidak kembali memilih mereka di pemilihan legislatif. Tapi itu pun kalau masih ingat dan kebanyakan lupa sehingga banyak yang kembali terpilih," pungkasnya.

Pada kesempatan sama, Peneliti Formappi Lucius Karus menjelaskan pihak yang paling mungkin memberikan sanksi terhadap kinerja DPR yakni fraksi dan partai. Pasalnya keduanya memiliki kekuasaan terhadap anggota DPR namun tidak pernah berjalan.

"Sanksi seperti pergantian antar waktu (PAW) atau lainnya hanya dilakukan ketika anggota DPR yang membangkang terhadap keinginan fraksi dan partai," ujarnya.

Misalnya, kata dia, terhadap beberapa anggota DPR asal Partai Demokrat. Mereka dipecat dengan alasan membantu Kongres Luar Biasa (KLB).

"Jadi partai politik sangat sensitif terhadap kepentingan partainya saja namun tidak terhadap kepentingan rakyat. Jadi tak ada harapan kepada partai atau fraksi memberi sanksi terhadap anggotanya yang kinerjanya buruk," pungkasnya. (OL-2)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Baharman
Berita Lainnya