Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Fokus

Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.

Pesan untuk Jokowi: Pencegahan Korupsi Jangan Sebatas Slogan

Dhika Kusuma Winata
09/12/2020 20:15
Pesan untuk Jokowi: Pencegahan Korupsi Jangan Sebatas Slogan
.(Dok MI)

PEMERINTAH dinilai belum menunjukkan komitmen kuat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi.

Penangkapan dua menteri dan beberapa kepala daerah oleh KPK beberapa waktu terakhir dinilai menjadi pengingat penting pencegahan korupsi memerlukan kemauan politik tinggi dan perbaikan yang serius.

"Di Kemensos misalnya, slogan antikorupsi didengungkan dan juga gimmick membagikan bansos bersama-sama ternyata jauh panggang dari api. Di belakang layar fenomena yang sama masih terjadi. Kepala daerah juga di depan mengatakan pencegahan korupsi tetapi di belakang megumpulkan fee dan memperkaya diri," kata pegiat antikorupsi Febri Diansyah dalam diskusi daring Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia), Rabu (9/12).

Mantan juru bicara KPK itu mengatakan pencegahan korupsi menjadi tanggung jawab semua institusi negara dan tak bisa diserahkan kepada satu institusi tertentu seperti KPK.

Menurutnya perlu ada kemauan politik yang tinggi di tingkat atas pemerintahan untuk pemberantasan korupsi.

"Tidak mungkin kementerian bisa melakukan upaya pencegahan korupsi kalau menterinya sebagai posisi paling tinggi justru diduga terlibat dalam pidana korupsi. Di sini lah slogan saja tidak cukup untuk mencegah korupsi tapi kerja konkret yang harus ditunjukkan ke masyarakat," ucapnya.

Merujuk sejumlah hasil survei, Febri mengatakan penilaian masyarakat terhadap pemberantasan korupsi kini menurun. Survei terakhir Lembaga Survei Indonesia (LSI) menilai kinerja Presiden untuk mencegah korupsi dan menegakkan hukum terhadap pelaku korupsi berada di posisi rendah.

Dari survei itu, hanya 28% yang menyatakan kinerja Presiden mencegah korupsi semakin baik sedangkan 37% menilai tidak ada perubahan dan 26% menilai semakin buruk. Untuk penegakkan hukum terhadap pelaku korupsi, hanya 22% menyatakan semakin baik sedangkan 43% menilai tidak ada perubahan dan 27% menyatakan semakin buruk.

Data Global Corruption Barometer 2020 yang dirilis beberapa waktu lalu juga menunjukkan Indonesia berada pada peringkat ketiga tertinggi praktek suap di pelayanan publik. Masih pada survei yang sama, Indonesia juga peringkat kedua dalam hal nepotisme.

"Kita tahu persis kemarin ada dua menteri yang tertangkap tangan dan respons pemerintah justru sebaliknya. Bukan melakukan evaluasi ke dalam tapi justru mengatakan tidak benar KPK melemah. Ini menunjukkan pemerintah tidak serius melihat korupsi yang semakin dekat di lingkungan paling tinggi di kabinet," ujar Febri.

Pengajar Fakultas Hukum UGM Zainal Arifin Mochtar juga menilai pencegahan korupsi harus dilakukan semua lembaga/kementerian sesuai mandat Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK). Menurutnya, semua lembaga perlu bekerja dalam pencegahan.

Di sisi lain, Zainal menyoroti saat ini relasi tiga lembaga penegak hukum yakni KPK, kepolisian, dan kejaksaan, tak berjalan ideal bekerja sama dalam memberantas korupsi. Ia menilai fungsi trigger mechanism penindakan di KPK dalam setahun terakhir juga tidak terlihat. Hal itu ditunjukkan dengan tidak adanya kasus di penegak hukum yang digarap KPK seperti contoh pada kasus jaksa Pinangki.

"Mereka trisula pemberantasan korupsi karena istilahnya berlomba-lomba dalam kebaikan memberantas korupsi. Tapi alih-alih berlomba memberantas korupsi, mereka tidak bekerja sama dalam pemberantasan korupsi bahkan terkesan sekarang ada lembaga yang mengkooptasi lembaga lain," pungkasnya. (OL-8)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Polycarpus
Berita Lainnya