Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
TAK ada yang abadi di muka bumi, kecuali perubahan. Demikian kata Heraclitus, filsuf dari Yunani (540 SM-480 SM). Perubahan bisa terjadi dalam waktu cepat atau lambat, tergantung pada situasi dan kondisi yang mengharuskan atau memengaruhi sesuatu atau sesorang untuk berubah. Begitulah kehidupan, tak ada ruang hampa yang teralienasi dari proses dialektika sesama makhluk sosial (zoon politicon).
Terlebih dalam dunia politik. Perubahan bisa sekejap mata. Belum sempat menjadi diskursus yang mengasah nalar publik, perubahan sudah terjadi. Adagium dalam arena politik bahwa tak ada musuh abadi, yang abadi ialah kepentingan yang sama. Namun, adagium ini bukanlah harga mati.
Sejumlah tokoh bergeming dengan sikap politiknya karena demi ideologi dan visi politik yang dimilikinya.
Ideologi politik itulah yang membuat seseorang kukuh bagai batu karang. Tak terlindas zaman, apalagi sekadar mengikuti siklus lima tahunan yang bernama pemilihan umum. Politik sejatinya tak mudah lompat pagar, apakah pagar SD Inpres atau pagar penghalang raksasa, seperti Tembok Berlin. Ideologi politik yang bertemu dengan kepentingan nasional itulah yang harus dipertahankan sampai kapan pun meski langit runtuh.
Kepentingan nasional dalam menjaga prinsip berbangsa dan bernegara sebagaimana pembukaan UUD 1945 ialah perkara yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Tujuan negara Indonesia dalam Pembukaan UUD 1945 aliena empat berisikan tujuan nasional dan tujuan internasional. Tujuan nasional, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Kedua, tujuan internasional, yakni ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Kedua tujuan negara itu bermuara pada cita-cita bangsa Indonesia, yakni negara Indonesia yang berdaulat, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Indonesia ialah negeri yang beragam, baik etnik, agama, bahasa, budaya, dan adat istiadat. Karenanya dengan keragaman itu, segenap anak bangsa wajib merawat pilar-pilar kebangsaan, yakni Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pilar-pilar kebangsaan itulah yang menjaga Indonesia dari segala rongrongan dari masa ke masa. Dunia mengakui kehebatan Pancasila sebagai common platform atau meminjam istilah cendekiawan muslim (alm) Nurcholish Madjid kalimatun sawa (titik temu perbedaan pandangan). Tanpa dasar negara yang mengayomi seluruh perbedaan, Indonesia bakal terpecah belah berkeping-keping.
Politik kebangsaan membutuhkan sosok kenegarawanan. Sosok yang mempertahankan kepentingan berbangsa dan bernegara di atas segalanya. Bukan sosok yang berburu kekuasaan dengan segala cara sembari memompa pencitraan di media sosial dengan pasukan buzzer-nya yang menawarkan fatamorgana. Terlihat hebat, tetapi sebenarnya tong kosong nyaring bunyinya. Terlihat gagah dalam berpidato, bahkan gebrak-gebrak meja podium, tetapi sebenarnya yang dibicarakan itu-itu saja, tak menawarkan sesuatu yang baru atau solusi yang bersifat fundamental, sistematis, dan berbasis kajian atau riset.
Kenegarawanan terbentuk bukan karena jabatan struktural, satu atau dua periode kekuasaan. Kenegarawanan adalah perjalanan panjang secara kultural di masyarakat melampaui ruang dan waktu dengan mendedikasikan diri untuk kepentingan orang banyak. Bisa pula secara struktural kenegarawanan terbentuk andaikan sang tokoh mampu membuktikan bahwa dia bisa melepaskan diri dari kepentingan pribadi, keluarga, atau kelompoknya. Kenegarawanan secara struktural tidak akan terbentuk jika sang tokoh memainkan politik mercusuar, politik yang mentereng secara fisik, tetapi membuat kebobolan keuangan negara. Proyek pembangunan yang diciptakannya tanpa kajian ilmiah nan mendalam, tanpa diskusi publik, dan memperhitungkan segala dampaknya.
Memilih gerbong politik perlu melihat rekam jejak tokoh-tokoh yang ada di dalamnya. Manusia tak ada yang sempurna memang benar. Selalu ada sisi gelap dari manusia karena manusia bukan malaikat. Namun, setidaknya pilih yang ‘dosanya’ paling sedikit, karena apa yang dilakukan dalam dunia politik sebenarnya mencetak sejarah yang akan dibaca generasi mendatang. Partai politik adalah instrumen demokrasi yang akan membawa Indonesia tinggal landas dengan visi besar atau tinggal di landasan karena berkutat dengan visi jangka pendek atau suka dengan romantisme masa lalu.
Generasi mendatang jangan terbebani oleh sejarah. Indonesia ialah negara besar baik secara populasi maupun wilayah. Sungguh miris bila memilih tokoh yang bermasalah. Usia emas alias 100 tahun Indonesia pada 2045 dengan visi, yakni berdaulat, maju, adil, dan makmur, fondasinya harus dibangun dari sekarang. Karena itu, momentum Pemilu 2024 ialah tangga menuju pencapaian visi tersebut. Kepentingan abadi harus diletakkan pada kepentingan nasional, bukan kepentingan jangka pendek hanya untuk memburu singgasana kekuasaan. Tabik!
JUDUL di atas ialah ungkapan harapan. Meski demikian, sejauh ini yang terjadi justru memperlihatkan tanda-tanda sebaliknya.
ULISAN ini merupakan episode ke sekian yang membahas kelas menengah. Saya bilang ke sekian karena saya belum sempat menghitungnya kembali.
DALAM Kongres Muhammadiyah di Yogyakarta pada 1922, pendiri persyarikatan KH Ahmad Dahlan menyampaikan pidato yang menggetarkan berjudul Tali Pengikat Hidup.
“APALAH arti sebuah nama,” kata pujangga Inggris William Shakespeare. Akan tetapi, dalam sistem ketatanegaraan negeri ini, nama punya arti. Perubahan nama justru memantik kontroversi.
SEJUMLAH teman, beberapa tahun lalu, mengidentifikasikan diri sebagai kelas menengah. Puncak kelas menengah, malah.
WHAT'S in a name? Apalah arti sebuah nama? Begitu William Shakespeare bilang. Apalah arti sebuah gelar? Begitu kira-kira Fathul Wahid berujar.
SEORANG perempuan di Kabupaten Malang, Jawa Timur, tega membunuh temannya, sesama ibu rumah tangga, hanya gara-gara tak diberi pinjaman uang sebesar Rp1 juta
SUATU kali, kolumnis beken Mahbub Djunaidi amat risau dengan banyaknya penghalusan bahasa yang tidak hanya digunakan para pejabat, tapi juga dipakai wartawan di sejumlah koran
Perempuan pertama yang menjadi wapres dalam sejarah AS itu memiliki rekam jejak yang kinclong.
HEBOH soal mobil dinas sudah menjadi tabiat lima tahunan KPU. Mobil dinas menjadi sorotan dan rebutan sejak KPU dibentuk pertama kali.
ADA sebuah pantun unik berbahasa Madura yang menggambarkan persatuan. Disebut unik karena meskipun berbahasa Madura, pantun itu tidak ditemukan di 'Pulau Garam' itu
TEMAN saya yang satu ini kembali uring-uringan. Ia kesal, marah, geram setelah membaca sebuah artikel lewat telepon pintarnya
DEWAN Perwakilan Daerah (DPD), bersama otonomi daerah, sejatinya merupakan anak kandung reformasi. Keduanya amat krusial bagi upaya pemerataan pembangunan nasional.
BUNG Karno kerap menyebut bahwa kita ialah bangsa besar. Indonesia bangsa besar karena didirikan manusia-manusia berjiwa besar.
Hakim Eman diketahui rajin menyampaikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN).
INDUSTRI farmasi tumbuh subur, tetapi harga obat selangit. Argumentasi usang terkait dengan harga yang mahal ialah 95% bahan baku obat masih impor.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved