Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Menyoal Pemindahan Ibu Kota Negara

Abdul Kodir Mahasiswa PhD Human Geography and Environment University of York Inggris, Pengurus PCINU UK, dan Sekjen PPI UK
05/3/2022 05:00
Menyoal Pemindahan Ibu Kota Negara
(Dok. Pribadi)

SEJAK Presiden Jokowi mengumumkan pemindahan ibu kota negara (IKN) pada 26 Agustus 2019, saya menilai kebijakan ini lebih menitikberatkan pada pertimbangan politik jika dibandingkan dengan hal yang substansial. Argumen utama yang selalu dimunculkan kepada publik ialah DKI Jakarta semakin lama menanggung beban berat. Selain sebagai ibu kota dan sebagai pusat perekonomian Indonesia, menjadi beban konsentrasi demografi Indonesia yang terpusat di sana.

Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian nasional tak bisa dimungkiri salah satu dampaknya ialah pertumbuhan penduduknya sangat signifikan. Akan tetapi, situasi tersebut tidak diimbangi dengan perencanaan kota dan kemampuan lingkungan yang memadai. Dari aspek ekologis, tidak sedikit dari hasil penelitian menunjukkan kepadatan penduduk menyebabkan polusi udara dan tercemarnya sungai-sungai. Lalu, satu masalah utama yang tidak pernah diselesaikan hingga saat ini, yakni banjir.

Satu tahun setelah penetapan itu, tepatnya 2020, saya melakukan riset lapangan ke calon lokasi IKN, untuk membuktikan apakah rasionalisasi pemindahan IKN hanya karena alasan setumpuk beban DKI Jakarta? Ataukah ada motif lain yang mendorong keputusan pemindahan tersebut. Itu karena melihat sampai hari ini, hampir sebagian besar keputusan pembangunan infrastruktur melalui proyek strategis nasional (PSN) menyisakan polemik seperti yang terjadi sebelumnya.

Saat di lapangan, hampir seluruh penduduk yang tinggal berada di ring satu pembangunan calon IKN, tepatnya di Desa Bukit Raya, Pemaluan, dan Tengin baru, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, selalu mempertanyakan apakah IKN akan tetap dilaksanakan? Mengingat sebagian besar dari mereka mengharapkan tanah mereka terjual dengan harga yang tinggi. Saya tidak pernah memberikan sebuah kepastian jawaban mengingat saat itu juga momen awal pandemi yang hampir tidak mungkin pemerintah memaksakan kebijakan tersebut.

Namun, keyakinan saya bahwa pemindahan IKN pun akan tetap terus dilakukan dan dipaksakan. Saya melihat bahwa setiap pemimpin politik di Indonesia ingin memiliki sebuah legacy atau sesuatu yang ingin diwariskan bagi rakyatnya. Maka, Presiden Jokowi pun juga terkesan memiliki ambisi dan keinginan sebagai kepala negara yang berhasil memindahkan IKN. Sebuah kebijakan yang tidak pernah dilakukan para presiden pendahulunya. Dalam catatan lapangan saya dan melihat dinamika kebijakan tersebut sampai hari ini, pemindahan IKN ini sebenarnya sangat problematis. Bahkan, bisa dikatakan cacat prosedur karena sebetulnya sangat dipaksakan.

 

 

Ketiadaan studi di lapangan

Sejak memutuskan untuk melakukan studi lapangan, saya berusaha mencari hasil kajian akademik yang menjadi fondasi kuat mengapa IKN harus dipindah dan mengapa harus di pindah di Kalimantan Timur. Selain hanya paparan presentasi dari Bappenas, saya tidak menemukan sebuah studi yang serius dari pemerintah saat itu.

Dalam paparannya, Bappenas (2019) menyatakan pemerintah memiliki beberapa agenda yang harus diwujudkan, yaitu pemindahan ibu kota negara akan berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, mengurangi disparitas antarkelompok pendapatan, menimbulkan tambahan inflasi nasional yang minimal, mendorong perdagangan antardaerah, dan meningkatkan investasi.

Tentu saja, agenda tersebut memiliki tujuan yang baik. Namun, akan menjadi masalah jika tujuan itu tidak didukung riset yang kuat. Bahkan, pada tahun yang sama muncul beberapa studi yang sebenarnya merespons terkait dengan kebijakan tersebut. Salah satunya, hasil penelitian Indef (2019) yang menjelaskan pemindahan IKN tidak akan menambah dukungan pertumbuhan ekonomi nasional. Selain itu, pergerakan ibu kota tidak memberikan dorongan untuk perubahan PDB riil. Pemindahan ibu kota hanya akan menguntungkan provinsi tujuan dan tidak menjamin pengurangan ketimpangan di provinsi tujuan (Taufiqurrahman et al, 2019).

Bagaimana mungkin sebuah kebijakan yang bisa dikatakan megaproyek dengan kepentingan jangka panjang tidak didukung hasil penelitian yang relevan dan ketat. Sebelum pemerintah pusat menetapkan pemindahan IKN, seharusnya memiliki rasionalitas yang kuat melalui studi kelayakan atau beragam model riset lainnya dan bukti empiris bahwa lokasi baru ini sudah memenuhi prasyarat. Tentu saja, studi-studi tersebut seharusnya dilakukan dalam beberapa tahun sebelumnya. Jauh sebelum kebijakan tersebut ditetapkan.

Studi-studi itu seharusnya dilakukan karena bertujuan memberikan sebuah kepastian bahwa kebijakan pembangunan tersebut akan tepat sasaran. Memetakan tentang kemungkinan persoalan yang akan muncul, juga mempersiapkan segenap upaya mitigasi terhadap segala bentuk kemungkinan kegagalan dari proyek tersebut. Selain itu, hal yang cukup penting ialah melihat sejauh mana kebijakan pemindahan tersebut memiliki kelayakan lingkungan dan secara ekologis tidak berdampak terhadap kerusakan lingkungan ataupun keanekaragaman hayati.

Dari hasil pengamatan di lapangan dan berdialog dengan pemangku kepentingan di wilayah itu, rencana pemindahan IKN secara langsung juga akan mengancam ekosistem, khususnya di wilayah Teluk Balikpapan, karena aktivitas lalu lintas kapal. Beberapa jenis keanekaragaman hayati, seperti pesut, dugong, buaya muara, bekantan, hingga ekosistem mangrove akan terancam.

Seharusnya, jauh sebelum memutuskan lokasi mana yang akan menjadi IKN. Pemerintah memberikan opsi kepada daerah lain yang memiliki potensi dan kelayakan sebagai tujuan pemindahan IKN. Melakukan studi dan memberikan penilaian secara komprehensif dan objektif. Bukan sebaliknya, memutuskan terlebih dulu. Namun, memberikan alasan dan rasionalisasi yang tampaknya akademis di kemudian hari.

 

 

Minimnya partisipasi publik

Jika pemindahan IKN ini tanpa direncanakan secara matang, dipastikan bahwa kebijakan tersebut menegasikan partisipasi publik. Dari hasil dialog saya dengan masyarakat yang tinggal di wilayah Sepaku, mereka tidak mengetahui sebelumnya jika wilayah itu akan dijadikan sebagai lokasi pemindahan IKN. Mereka mengetahui setelah kunjungan Presiden Jokowi beserta jajarannya ke wilayah tersebut.

Saya juga tidak ingin menutupi bahwa sebagain besar dari masyarakat merespons dengan senang. Bagi mereka ada kebanggaan tersendiri dan tentu menaruh sebuah harapan besar. Itu terutama bagi masyarakat pendatang dari Jawa, Makassar, atau transmigran lainnya yang menjalankan aktivitas perekonomian melalui sektor perdagangan. Namun, tidak semua mereka memiliki respons yang sama atau bahkan ada sebuah ketakutan tersendiri, terutama mereka penduduk asli, yakni suka Paser Balik.

Dari respons ini tidak berusaha memperdebatkan keragaman persepsi publik atas pemindahan IKN. Namun, dari respons tersebut kita dapat menarik sebuah benang merah yang tampak jelas bahwa kebijakan itu sebenarnya minim dalam melibatkan peran masyarakat lokal atau bahkan malah tidak sama sekali. Padahal, partisipasi publik yang bisa dilakukan dengan beragam cara, menjadi kunci penting dalam menyusun kebijakan. Terutama yang akan berimplikasi secara besar terhadap keberlanjutan penghidupan mereka secara ekonomi dan relasi sosial ataupun kebudayaan. Selain itu, partisipasi masyarakat lokal bisa menjadi navigasi arah kebijakan pembangunan tersebut agar kemudian hari tidak mengeksklusi kehidupan masyarakat lokal.

Jika pemerintah pusat dalam pemberitaan media mengklaim bahwa kebijakan ini didukung penduduk lokal, perlu kita berupaya secara saksama mempertanyakan siapakah sebenarnya penduduk lokal yang dimaksud? Jangan-jangan mereka yang menjadi elite politik atau raja-raja kecil daerah, yang sebenarnya secara ekonomi-politik memiliki atau akan mendapatkan keuntungan secara materi ataupun nonmateri dari kebijakan pemindahan IKN. Namun, berusaha mendaku diri mewakili kepentingan masyarakat adat atau publik secara luas.

 

 

Aroma kental politik transaksional

Dari pengamatan pemberitaan media, wacana terkait dengan IKN sempat terhenti sementara ketika kasus pandemi sedang tidak terkendali. Namun, wacana itu kembali menguat sejak Presiden Jokowi memutuskan nama Nusantara kepada IKN baru dan pembahasan RUU IKN di ranah legislatif disahkan menjadi UU IKN.

Berbeda dengan RUU lainnya yang terseok-seok tidak segera diputuskan seperti RUU TPKS dan RUU Perlindungan Data Pribadi, RUU IKN justru menjadi salah satu rancangan undang-undang yang bisa dikatakan superkilat. DPR hanya membutuhkan waktu selama 42 hari yang akhirnya disahkan menjadi UU IKN.

Dalam waktu yang singkat itu, menandakan bahwa UU IKN ini terkesan sangat dipaksakan. Terlebih, sebenarnya pembahasan tersebut seharusnya sangat kompleks yang melibatkan infrastruktur, anggaran, aspek lingkungan, sosial budaya, serta aspek teknis lainnya. Belum lagi naskah akademik UU IKN yang tampak dari substansinya sama sekali tidak bernuansa akademis. Melihat demikian, terkesan kuat bahwa UU IKN ini sangat dipaksakan. Konsekuensinya, UU ini bisa berpotensi memiliki masalah di kemudian hari seperti halnya UU Cipta Kerja.

Selain itu, kondisi ini diperkuat laporan yang dirilis beberapa organisasi sipil, seperti Jatam, Walhi, FWI, dan lain-lain (2019). Mereka menyebutkan terdapat banyak nama elite politik nasional dan pengusaha yang mendapatkan keuntungan dari proyek tersebut di wilayah rencana pembangunan ibu kota baru, khususnya yang memiliki konsesi lahan seluas puluhan ribu hingga ratusan ribu hektare di wilayah itu.

Dengan fakta itu, akan ada respons dari publik yang mengkritik dan bahkan menolak kebijakan pemindahan IKN. Menjadi sangat wajar jika publik menilai bahwa kebijakan pemindahan IKN lebih bernuansa politik transaksional daripada memperjuangkan agenda politik kepentingan publik. Fakta-fakta tersebut bisa menjadi cermin bahwa kebijakan pemindahan IKN dari DKI Jakarta ke Kalimantan Timur ialah sebuah produk kebijakan yang tidak direncanakan dengan baik. Bahkan, terkesan sangat dipaksakan.

Tentu saja kita juga tidak bisa mengabaikan fakta bahwa Jakarta memiliki setumpuk persoalan, seperti banjir, polusi udara, kemacetan, dan persoalan sosial lainnya yang memang sampai saat ini belum sepenuhnya terselesaikan. Namun, jika kebijakan pemindahan IKN tersebut tanpa direncanakan dengan terstruktur dan tanpa melibatkan partisipasi publik, sama saja akan memindahkan masalah yang ada di Jakarta ke tempat baru.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya