Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Fokus

Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.

Prihatin, Satpol PP Maumere Tidak Bisa Bedakan Sekolah dan Pasar

Gabriel Langga
13/8/2021 07:46
Prihatin, Satpol PP Maumere Tidak Bisa Bedakan Sekolah dan Pasar
Kepala SMAK Bhaktyarsa Maumere, Suster Marcelina Lidi.(MI/Gabriel Langga)

KEPALA SMAK Bhaktyarsa Maumere, Marcelina Lidi prihatin dengan sikap arogansi Kasatpol PP setempat. Pasalnya, aparat penegak aturan daerah itu tidak bisa membedakan bagaimana menegakkan hukum di sekolah dan di pasar.

"Akibatnya siswa-siswi kami trauma dengan cara-cara arogan dan justru mereka (Satpol PP) yang melangggar aturan PPKM di Kabupaten Sikka ini," ujar Kepala Sekolah SMAK Bhaktyarsa Maumere, suster Marcelina Lidi kepada mediaindonesia.com, kemarin.

Peristiwa bermula, jelas Marcelina, saat sejumlah anggota Satpol PP Sikka  mendatangi sekolahnya karena ada aktivitas kegiatan belajar mengajar (KBM). Dirinya meminta kepada Kasat Satpol PP Adeodatus Buang da Cunha yang memimpin operasi untuk masuk kedalam ruangan kepala sekolah. Namun, langsung ditolak oleh Kasat Satpol PP Sikka.

"Saya menawarkan Kasatpol PP Sikka masuk ke kantor karena saya punya etika. Tetapi ditolak dan malah yang bersangkutan bersama anggotanya dengan sikap arogan langsung masuk kedalam kelas. Meminta seluruh siswa-siswi hentikan aktivitas belajar dan berkumpul di lapangan," ujar Marcelina.

Setelah siswa siswinya dikumpulkan di lapangan, kata suster Marcelina, mereka malah dihukum oleh anggota Satpol PP Sikka. Para siswa dihukum squat
jump tanpa sepengetahuan dirinya sebagai kepala sekolah.

"Itu yang melanggar prokes kami atau anggota Satpol PP Sikka. Kok! malah siswa siswi dikumpulkan di lapangan dan terjadi kerumunan di situ. Saya sempat kaget kenapa siswa saya dibuat begini. Tindakan arogansi Satpol PP ini yang buat para siswa trauma," kesal suster Marcelina.

Jika memang Kasatpol PP Sikka mengerti aturan dan tata krama, jelas suster Marcelina, dan memang memang pihak sekolahnya salah. Kasatpol PPnya tidak bisa langsung menghukum tapi bicara ke Kepala Sekolah sebagai pemegang tanggung jawab di sekolah. Lalu, meminta kepala sekolah agar memulangkan seluruh siswanya.

Tindakan Kasatpol PP Adeodatus Buang da Cunha dengan mengumpulkan siswa di lapangan dan menghukummnya, jelas Marcelina, merupakan bentuk tindakan kekerasan terhadap anak. Baik kekerasan psikologis, verbal dan fisik.

"Kasatpol PP tidak bisa bedakan di pasar dan di lembaga pendidikan. Tindakan oleh anggota Satpol PP Sikka itu berlawanan dengan sistem pendidikan yang diterapkan di sekolah. Ini soal karakter, harusnya Satpol-PP humanis dan paham aturan," ujar dia.

Menurut Suster Marcelina, pihaknya sangat mematuhi instruksi pemerintah. Namun sampai saat ini pihak sekolah belum mendapatkan surat edaran Bupati
Sikka terkait perpanjangan PPKM level empat.

"Sampai saat ini kami belum mendapatkan surat edaran dari Bupati Sikka terkait perpanjangan PPKM. Seharusnya kami diberitahu terkait perpanjangan PPKM. Selanjutnya kita selaku pihak sekolah akan melakukan pertemuan dengan guru dan orang tua siswa. Karena selama ini kalau ada surat edaran itu kita langsung melakukan pertemuan dengan guru dan siswa," ungkap dia.

Untuk itu, ia menilai pada saat pembubaran yang dilakukan oleh anggota satpol PP Sikka, tidak memiliki dasar hukum. Sebab belum ada surat edaran dari
Bupati Sikka.

Pihaknya, jelas dia, melakukan KBM di sekolah karena ada alasannya. Pertama, sekolah belum mendapatkan surat edaran perpanjangan PPKM level 4. Kedua, berdasarkan persetujuan dari orang tua dengan menerapkan sistem belajar daring dan tatap muka. Bagi siswa yang tidak memiliki handphone, bisa datang ke sekolah untuk ikut KBM tatap muka.

"Jadi siswa yang tidak punya pulsa data bisa datang ke sekolah untuk ikut KBM tatap muka dan siswa yang lain bisa webinar dari rumah. Kami di sini tidak sepenuhnya harus berikan siswa penugasan. Kalau mau enak, lebih baik kami sebagai guru suruh siswa kirim saja tugas. Tetapi tidak. Karena kami harus melayani," ujar dia.

Salah satu siswa SMAK Bhaktyarsa, Ferdinandus Sili Making mengaku datang ke sekolah karena tidak memiliki pulsa untuk mengikuti webinar (belajar daring). Dia kaget saat petugas Satpol PP tanpa permisi masuk ke dalam kelas dan langsung berteriak dengan arogannya.

"Hoeee...guru-guru omong kosong semua dan minta kami keluar dari kelas dengan nada membentak," ujar dia menirukan bentakan petugas Satpol PP tersebut.

Padahal di kelas, jelas Ferdinandus, jumlah siswa hanya 12 orang yang seharusnya biasa diisi 38 siswa. Perlakuan Satpol PP ini membuat dia dan teman-temannya trauma. Apalagi dihukum dengan squat jump. "Kami merasa diperlakukan seperti pelaku kriminal. Jelas kami trauma, apa kesalahan kami?," ungkap Ferdi.

Komite Sekolah SMAK Bhaktyarsa Maumere, Benediktus Besi menyayangkan tindakan Satpol PP tersebut. Memang itu tugas Satpol PP Sikka tetapi caranya keliru, kalau datang ke sekolah harus memiliki etika. "Bisa bedakan lah mana di sekolah, di pasar di tempat hiburan malam. Kami sangat sayangkan tindakan yang dilakukan oleh Satpol PP Sikka kepada siswa," sesal dia. (OL-13)

Baca Juga: Kakorlantas Cek Vaksinasi Sopir Angkot di Papua



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Muhamad Fauzi
Berita Lainnya