Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
JUMLAH kasus tuberkulosis di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, trennya terpantau naik tahun ini. Berdasarkan data Dinas Kesehatan setempat, hingga triwulan ketiga tahun ini, jumlahnya ditemukan sebanyak 3.633 kasus.
"Jumlah temuan kasus TBC di Kabupaten Cianjur relatif tinggi," tutur Kepala Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Dinas Kesehatan Kabupaten Cianjur, Rostiani Dewi, Minggu (27/10).
Dewi melihat ada dua sisi yang perlu dicermati dari temuan kasus TBC itu. Dari sisi negatifnya, relatif tingginya temuan kasus itu mengindikasikan masih rendahnya kesadaran masyarakat menjaga kesehatan. Tapi dari sisi positifnya, temuan tersebut menjadi sesuatu yang baik dalam pengentasan penyebaran TBC.
"Semakin banyak kasus yang ditemukan, berarti ada tren positif untuk mengeliminasi pengidap TBC di Cianjur," ujarnya.
Kondisi tersebut sejalan dengan upaya Pemkab Cianjur yang menargetkan penurunan jumlah kasus TBC pada 2030 nanti. Upaya penurunan itu tentu pada praktiknya harus menemukan kasusnya, mengeliminasi, serta mengobati.
"Upaya-upaya menurunkan jumlah kasus TBC terus kami lakukan," kata Dewi.
Dari 3.633 kasus TBC tahun ini, sebanyak 219 orang memilih berobat, 138 orang dirujuk ke fasilitas kesehatan, 23 orang dinyatakan sembuh setelah berobat, 17 orang meninggal dunia, dan 53 orang masih dalam perawatan. Dewi tak memungkiri masih terdapat kendala dalam upaya menanggulangi penyebaran TBC, di antaranya kesadaran dan kepatuhan penderita menjalani pengobatan.
"Ada stigma dari para pengidap TBC yang tak menuntaskan pengobatan dengan cara minum obat. Kondisi ini justru malah berbahaya bagi penderita itu sendiri. Mereka berpikiran sudah sehat. Padahal, berobatnya saja tidak tuntas," terang dia.
Jika pengobatan tidak dituntaskan, maka penderita harus memulai kembali pengobatan dari awal. Apabila kondisi tersebut terus berlangsung, dikhawatirkan penderita akan menjadi resisten terhadap obat sehingga penyakit lebih sulit untuk disembuhkan atau dalam istilah medis disebut TB Multidrug Resistant (MDR).
"Kalau sudah seperti ini, seorang penderita TBC harus menjalani perawatan dalam jangka waktu lebih panjang, yakni dua tahun. Per hari harus minum obat 20 tablet ditambah suntik sehari sekali selama 2 tahun," tegasnya.
baca juga: Kemarau Panjang, Produksi Mente dan Kemiri Anjlok
Pengelola Program TBC Dinas Kesehatan Cianjur, Dikdik, menyebutkan terdapat tiga fasilitas kesehatan yang bisa digunakan sebagai tempat pemeriksaan TBC. Ketiganya yakni RSUD Sayang Cianjur, Puskesmas DTP Ciranjang, dan Balai Kesehatan Paru Masyarakat Cianjur.
"Di tempat itu tersedia alat tes cepat molekuler (TCM). Pemeriksaan juga bisa dilakukan secara online yang terintegrasi dengan fasilitas kesehatan. Semuanya berbasis aplikasi, pelaporan, dan pencegahan penularan," terang Dikdik. (OL-3)
Ada sebanyak 25 portable X-Ray yang akan ditempatkan di 15 kabupaten/kota di 9 provinsi.
Pada 2020 notifikasi kasus TB ada di angka 393.323 kasus. Lalu pada 2021 menjadi 443.235 kasus, pada 2022 sebanyak 724.309 kasus, pada 2023 sebanyak 821.200 kasus.
Kelumpuhan yang disebabkan oleh tuberkulosis (TB) tulang belakang tidak sama dengan kelumpuhan akibat polio.
EDUKASI dan sosialisasi tentang bahaya tuberkulosis (TB) harus dilakukan secara massif. Ini dilakukan agar masyarakat memahami dan peduli dengan pencegahan dan pengobatan TB.
Penularan Tuberkulosis (Tb) masih tinggi dengan 282.281 kasus dilaporkan hingga Juni 2024. Angka ini menunjukkan peningkatan notifikasi kasus sejak 2021.
Pemberian obat pada waktu yang sama perlu dilakukan dengan tujuan agar tidak lupa dan skip minum obat dan anak jadi terbiasa.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved