Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
PERSERIKATAN Bangsa-Bangsa (PBB) menyebut Tiongkok telah memisahkan sekitar 1 juta anak Tibet dari keluarga mereka, dan menempatkan di sekolah berasrama khusus yang dikelola oleh otoritas Tiongkok.
Pemisahan itu disinyalir menjadi bagian dari upaya Tiongkok 'mencuci otak' anak-anak Tibet secara budaya, agama dan bahasa, agar generasi masa depan Tibet menyerap budaya Han Tiongkok yang dominan.
Mewakili PBB, pakar hak asasi manusia (HAM) antara lain Fernand de Varennes yang fokus dalam isu-isu minoritas dan Farida Shaheed, pelopor khusus tentang hak atas pendidikan, telah menyuarakan peringatan atas penerapan asimilasi paksa yang menindas.
Baca juga: Centris: Indonesia Sepatutnya Mendorong Kemerdekaan untuk Tibet
"Kami (PBB) sangat terganggu dalam beberapa tahun terakhir ini, sistem sekolah asrama untuk anak-anak Tibet diterapkan oleh China," kata PBB, seperti dilansir The Next Shark, baru-baru ini.
Jauhkan Masyarakat Tibet dari Akar Kebudayaa Mereka
"Tampaknya bertindak sebagai program skala besar wajib untuk mengasimilasi orang Tibet ke dalam budaya mayoritas Han, bertentangan dengan standar hak asasi manusia internasional," tambah PBB.
Menanggapi hal ini, Dewan Pimpinan Pusat Pelajar Islam Indonesia (DPP PII) meminta Indonesia dan negara dunia untuk tak tinggal diam dengan aksi serta kegiatan China yang di indikasi akan merubah peradaban Tibet.
Baca juga: PII: Stop Eksplorasi Sumber Daya Alam Tibet oleh Tiongkok
Wakil Bendahara Umum DPP PII, Furqan Raka, mengatakan dunia tidak boleh diam dengan melihat aksi Beijing meluluhlantakkan peradaban Tibet, terutama kepada anak-anak yang sejatinya adalah masa depan bangsa Tibet.
“Selain temuan PBB, kami juga mendapatkan informasi dari berbagai media yang menyebutkan sekolah berasrama kolonial Beijing di Tibet adalah pusat pendidikan dan pelatihan sejak 2016,” kata Furqan Raka, Jumat (24/3).
Pemerintah Tiongkok Klaim Upaya Atasi Kemiskinan
Pemerintah Tiongkok mengklaim bahwa sekolah-sekolah ini dirancang untuk memerangi kemiskinan dan meningkatkan pendidikan warga Tibet, lanjut Furqan Faka, namun pada kenyataannya sekolah tersebut adalah alat untuk indoktrinasi politik dan asimilasi budaya.
Melalui media massa miliknya, antara lain China Daily, Beijing menerbitkan sebuah artikel yang mengklaim bahwa sekolah berasrama di Tibet untuk mempersempit kesenjangan pendidikan pedesaan-perkotaan di wilayah tersebut.
Baca juga: 47 Negara Anggota PBB Kecam Memburuknya HAM di Uighur
Akan tetapi, bertentangan dengan apa yang dilaporkan oleh media pemerintah China, sekolah berasrama ternyata bukanlah inisiatif pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan kehidupan anak-anak Tibet.
Kampanye Asimiliasi dan Kontrol Budaya
Sebaliknya, sekolah tersebut adalah bagian dari kampanye asimilasi dan kontrol budaya yang lebih besar untuk mendestruksi kultur Tibet dari generasi masa depan Tibet sendiri.
Sebuah laporan terobosan yang diterbitkan oleh Institut Aksi Tibet mengungkap sistem sekolah asrama kolonial Tiongkok yang masif di Tibet.
Sedikitnya 800 ribu hingga 900 ribuanak Tibet usia 6 sampai 18 tahun dipisahkan dari orang tua dan keluarga mereka di sekolah yang dirancang untuk melepaskan identitas mereka. Angka Ini tidak termasuk anak usia empat dan lima tahun di pra-sekolah berasrama.
Dalam anjuran propaganda terbarunya, pemerintah Tiongkok telah merilis serangkaian video dan artikel yang merupakan manfaat sekolah berasrama.
Mereka juga menunjukkan siswa berpartisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler seperti menari dan olahraga.
Kemenlu Tiongkok Tuding Media Barat 'Mengarang'
“Analisa PBB ini juga langsung dibantah oleh Beijing dimana Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Mao Ning juga menuding media massa Barat mengarang cerita dan menyebarkan tuduhan palsu berdasarkan pernyataan PBB,” tutur Furqan Raka.
Bantahan Beijing ini diutarakan Mao Ning dalam konferensi pers rutin ketika diminta mengomentari beberapa laporan media barat yang mengatakan ada "sekolah residensial" di Tibet dan menjadi bagian dari kampanye asimilasi skala besar pemerintah Tiongkok yang menargetkan warga Tibet.
Mao menyebut pernyataan PBB dan artikel yang dibuat media massa barat tidak benar dan tampaknya hanya tuduhan lain yang bertujuan untuk menyesatkan publik tentang China dan mencoreng citra Tionglkok.
Baca juga: Keanu Reeves Dukung Tibet, Film-Filnya Dihapus dari Platform Streaming Tiongkok
“Simpel sih, jika analisa PBB tidak benar, Beijing kasih izin PBB dan penggiat HAM internasional masuk ke asrama-asrama yang dihuni anak-anak Tibet, berani?,” ungkap Furqan Raka.
Dalam laporan maupun artikel yang diterbitkan sejumlah media massa menyebutkan anak-anak dari komunitas pedesaan Tibet ditempatkan di sekolah asrama, yang dibangun di sekitar budaya Han dan dilakukan hanya dalam bahasa Mandarin.
Sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah Tiongkok dilaporkan menyediakan sedikit atau tidak sama sekali pelajaran tentang bahasa, sejarah dan budaya minoritas Tibet.
PBB Ungkapkan Keprihatinan
PBB menyatakan keprihatinan atas laporan peningkatan jumlah sekolah asrama yang beroperasi di dalam dan di luar Daerah Otonomi Tibet.
Persentase siswa asrama lebih dari 20 persen secara nasional, dengan para ahli PBB mencatat sebagian besar anak-anak Tibet ditempatkan di sekolah asrama.
Peningkatan jumlah siswa asrama Tibet dicapai dengan penutupan sekolah pedesaan di daerah yang cenderung dihuni oleh orang Tibet.
“Jelas asrama Beijing patut diduga sebagai sarana ‘cuci otak’ bagi generasi masa depan Tibet. Mirip-mirip kamp konsentrasi yang dibangun China bagi muslim Uighur,” pungkas Furqan Raka. (RO/S-4)
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres menyoroti bahaya fenomena cuaca panas ekstrem yang semakin meningkat di banyak negara.
Menteri Negara Bangladesh untuk Informasi dan Penyiaran, Mohammad Arafat, membela penanganan pemerintah terhadap protes massal, meskipun para ahli PBB serukan investigasi.
SEKITAR 150 ribu warga sipil telah meninggalkan Khan Younis di Jalur Gaza menyusul perintah evakuasi dari Israel. Ini dikatakan juru bicara PBB pada Selasa (23/7).
Parlemen Israel meloloskan tiga RUU dalam pembacaan pertama menutup Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) dan menetapkannya sebagai "organisasi teroris".
Menteri Luar Negeri Retno L.P. Marsudi menegaskan fatwa ICJ mendukung perjuangan Palestina dan meminta semua negara serta PBB, tidak mengakui keberadaan ilegal Israel.
Sekjen PBB Antonio Guterres akan menyerahkan opini hukum Mahkamah Internasional (ICJ) kepada Majelis Umum yang menganggap pendudukan Israel di wilayah Palestina sejak 1967 melanggar hukum.
KASUS penganiayaan yang diduga dilakukan oleh polisi dari Sabhara Polda Sumbar menyebabkan AM, pelajar, 13, tewas. Kasus ini diadukan LBH Padang ke Komnas HAM, Selasa (25/6) sore.
Masalah pelanggaran HAM di Korea Utara menjadi sorotan dalam pertemuan Dewan Keamanan PBB (DK-PBB) yang dipimpin Duta Besar Korea Selatan, Hwang Joon-kook.
Mantan pimpinan FPI Habib Rizieq Shihab hari ini dinyatakan bebas murni oleh BP Kelas Satu Jakarta Pusat. Rizieq Shihab menuntut penyelesaian kasus KM 50 yang menewaskan enam aggotanya.
Sementara rakyat Iran dan pemimpin dunia berdoa untuk keselamatan Ebrahim Raisi, beberapa tokoh AS menyambut berita ini dengan kegembiraan.
Komnas HAM saat ini sedang menyelidiki dua kasus dugaan pelanggaran HAM berat yakni pembunuhan aktivis Munir Said Thalib dan salah peristiwa di Aceh saat berstatus Daerah Operasi Militer
PENGADILAN Rakyat atau Mahkamah Rakyat perlu dikaji dilakukan untuk mengungkap kejahatan pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved