Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
MANAJER Kampanye Pelaksana Hutan dan Pertanian Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi), Uli Artha Siagian, mengaku kecewa dengan hasil Konferensi Perubahan Iklim (COP 28) yang berlangsung di Dubai pada November—Desember 2023. Menurut dia, hasil pertemuan itu sama sekali tidak memiliki sikap yang tegas terhadap situasi krisis iklim global yang semakin parah saat ini.
“Beberapa keputusan yang kita highlight dan kemudian itu akan semakin memperburuk situasi iklim dan rakyat di antaranya dorongan mengadopsi passed out kemudian tidak diambil atau tidak disepakati. Diadopsi itu malah penurunan bertahap atau passed down,” ungkapnya kepada Media Indonesia, Kamis (14/12).
“Ini sama dengan keputusan Glasgow dua tahun lalu. Artinya selama dua tahun tidak ada keputusan yg lebih baik dan kita melewati dua tahun dengan sia-sia. Ini juga menunjukkan politik bisnis fosil masih sangat dominan dan kuat mempengaruhi putusan internasional,” sambung Uli Artha.
Baca juga: COP28 Sepakati Pengurangan Bahan Bakar Fosil
Lebih lanjut, Uli Artha juga menyoroti keputusan percepatan 3 kali transisi energi. Menurutnya, saat ini ada kekeliruan dalam memahami transisi energi bahkan sampai pada tahap implementasi. Transisi energi saat ini diimplementasikan dengan pembangunan ekosistem listrik yang justru ketika dipercepat 3 kali lipat akan memperbesar ekstraksi nikel, cobalt dan hasil tambang lainnya di wilayah yang berpotensi.
“Bisa dibayangkan akan sebesar apa daya rusaknya ketika eksploitasi nikel terjadi,” tegasnya.
Uli Artha juga menilai bahwa transisi energi melalui biodiesel juga menjadi permasalahan. Pasalnya, komoditas utama biodiesel adalah sawit. Ketika negara utara dan selatan mempercepat transisi dan dijawab dengan biodiesel, maka akan semakin besar hutan yang beralih menjadi sawit dan dikelola korporasi.
Baca juga: COP-28 Berakhir, Negara Maju Mangkir
“Dia menambahkan bahwa semua keputusan itu tidak diikuti dengan dukungan finansial dari negara utara ke negara berkembang. Jadi hal ini hanya akan terus memperpanjang dan memperlama proses kolonialisasi negara utara ke negara selatan. Karena tidak diikuti dukungan finansial. Itu juga jadi persoalan yang besar,” ujar Uli Artha.
Secara terpisah, Dekan Fakultas Kehutanan dan Lingkungan (Fahutan) IPB University Naresworo Nugroho mengatakan bahwa beberapa keputusan di COP 28 menunjukkan bahwa banyak negara masih mementingkan kepentingan sendiri dibandingkan kepentingan global.
“Seperti belum disepakatinya penghapusan bahan bakar fosil artinya banyak negara yang masih harus memperhatikan kepentingannya sendiri bukan untuk kepentingan global,” pungkas Naresworo.
(Z-9)
Pemerintah Indonesia berkomitmen kuat untuk mengimplementasikan target-target iklim dalam FOLU Net Sink 2030, dengan estimasi sebesar USD 14.5 miliar.
Grant Thornton menjelaskan perlu adanya langkah konkret dari perusahaan seperti perlunya memulai investasi dalam teknologi hijau, dan energi terbarukan.
Semua orang harus punya akses pada air bersih dan untuk ketahanan pangan. Karenanya perlu disiapkan policy yang mengikuti kebutuhan dan dinamika global, serta implementasinya perlu dilakukan
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Terbuka (UT) Jakarta Imam Pesuwaryantoro bagaimana mendorong hilirisasi sampah plastik secara virtula pada COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab (UAE).
kesadaran bahwa momen kesempatan dalam menanggulangi perubahan iklim itu harus diambil.
Indonesia saat ini juga tengah menyiapkan Second NDC untuk target penurunan emisi yang lebih ambisius yang rencananya akan disampaikan 2025.
Menurut Kementan tidak ada cara lain menghindari krisisi pangan selain mengebut program pompanisasi dan oplah.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres menyoroti bahaya fenomena cuaca panas ekstrem yang semakin meningkat di banyak negara.
Antonio Guterres, Sekretaris Jenderal PBB, mendesak negara-negara untuk bertindak menanggapi dampak panas ekstrem yang dipicu oleh perubahan iklim.
Suhu baru tertinggi yang tercatat sebesar 17,09 derajat Celcius, sedikit melampaui rekor sebelumnya sebesar 17,08 derajat Celcius yang terjadi pada 6 Juli 2023.
Untuk menghadapi tantangan ini, dibutuhkan generasi muda yang peduli pada lingkungan dan memiliki pengetahuan serta keahlian membangun masa depan berkelanjutan.
Langkah nyata ini juga sebagai bentuk dukungan BMKG untuk memberikan data yang lebih akurat dalam mewujudkan target Net Zero Emission tahun 2060.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved