Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Fokus

Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.

Hirupan Cikahuripan, Membangun Desa Wisata Tangguh Bencana

Ardhana Riswarie, Budi Adi Nugroho, Irwan Meilano, Aria Mariany, Bayu Novianto, Nurdiyanti
23/8/2022 07:30
Hirupan Cikahuripan, Membangun Desa Wisata Tangguh Bencana
Uji coba program walking tour di kawasan Benteng Belanda, akhir 2021.(Dok. ITB)

HIDUP di atas sebuah sesar aktif ialah kenyataan untuk beratus warga di Desa Cikahuripan, Kabupaten Bandung Barat. Melintang di bawah rumah-rumah mereka ialah Sesar Lembang sepanjang 29 km dari timur, di daerah Jatinangor hingga ke barat di daerah Padalarang.

Penelitian menunjukkan bahwa Sesar Lembang memiliki potensi gempa dengan 6,7-7 magnitudo. Pada 2011, Sesar Lembang sempat bergerak dengan 3,3 magnitudo dan merusak sekitar 384 rumah warga di Kampung Muril, Desa Jambudipa, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat. Kedalaman gempa tersebut sangat dangkal sehingga menimbulkan kerusakan cukup besar.

Sejak 2012, masyarakat Desa Cikahuripan aktif dalam upaya mitigasi dan kesiapsiagaan dalam wadah Forum Kesiapsiagaan Dini Masyarakat (FKDM) di tingkat Kabupaten Bandung Barat. Meski demikian, masyarakat desa secara umum masih kurang mampu terlibat dalam aksi nyata. Bukan karena abai, melainkan mereka bingung dalam menyikapi isu kebencanaan.

Terkait bagaimana masyarakat Desa Cikahuripan menghadapi bencana, fasilitator melakukan pendekatan pengurangan risiko bencana berbasis komunitas (PRBBK) di awal-awal kegiatan pengabdian masyarakat. Dalam PRBBK, ada tiga hal yang perlu dilakukan masyarakat: mengenali ancaman bencananya, mengenali lokasi tempat mereka tinggal, dan mengenali potensi serta kemampuan dalam menghadapi bencana. Hal-hal itu kemudian diterjemahkan menjadi rencana aksi untuk mengurangi risiko bencana. Adapun ancaman bencana di Desa Cikahuripan, seperti telah dikemukakan, ialah ancaman bencana gempa bumi dari Sesar Lembang dan letusan gunung api dari Gunung Tangkuban Parahu.

Desa Cikahuripan terletak di tengah hiruk pikuk daerah wisata yang terus berkembang di Bandung Barat. Mata pencaharian masyarakat masih cukup berimbang antara bertani, beternak, dan bekerja di ranah pariwisata walapun generasi mudanya kini lebih memilih bekerja di tempat-tempat yang pendapatannya lebih stabil. Lokasi seperti itu mendatangkan kesempatan sekaligus risiko yang diidentifikasi pada 2020 saat pertama kali tim kami melaksanakan pengabdian masyarakat di sana.

Tim pelaksana berasal dari berbagai disiplin dan lembaga, yaitu Fakultas Seni Rupa dan Desain serta Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB, juga Bandung Mitigasi Hub, lembaga nirlaba dengan fokus pada upaya-upaya mitigasi bencana di wilayah Bandung Raya. Risiko yang ditemukan ialah meluruhnya identitas budaya dan kearifan lokal terkait bencana gempa yang berasal dari Sesar Lembang. Sumber daya budaya itu penting untuk menciptakan kebersatuan masyarakat, terutama dalam menghadapi ancaman bencana alam.

Pada 2020, bersamaan dengan awal pandemi covid-19, tim memfokuskan program pengabdian untuk menggali sumber daya budaya. Melalui sayembara cerita rakyat, terkumpul sejumlah kearifan lokal meski belum ada yang menyentuh isu kebencanaan. Cerita yang terpilih berjudul Asal-usul Engko di Kampung Pojok Tengah karya Hendi Heryadi. Isinya tentang kesenian engko yang secara turun-temurun dilakukan masyarakat, tetapi kini hampir punah. Dahulu, engko sering ditemukan dalam acara-acara hajatan seperti pernikahan dan khitanan. Cerita pemenang itu kemudian dikemas dalam bentuk buku cerita anak yang gambar serta bentuk hurufnya diambil dari anak-anak di Desa Cikahuripan. Dalam kesenian engko, dapat disisipkan pesan-pesan pengurangan risiko bencana sehingga pada kemudian hari budaya aman/sadar bencana bisa terbentuk melaluinya.

Tahun berikutnya, program pengabdian fokus untuk membuat bentukan yang lebih sustainable dari upaya yang selama ini dilakukan para anggota FKDM di Cikahuripan di bawah Lembaga Desa Tangguh Bencana (Destana). Dari aspirasi warga yang kemudian dihimpun, mayoritas mengarah ke penggunaan sumber daya alam untuk kebutuhan pariwisata.

Selama setahun penuh, tim lantas berkolaborasi dengan Destana dan Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) merancang Rencana Induk Desa Wisata Tangguh Bencana. Upaya tersebut diawali dengan studi banding ke desa-desa wisata dan kreatif di sekitar Bandung. Kegiatan itu menyadarkan masyarakat bahwa mereka juga memiliki kapasitas serta sumber daya yang mumpuni untuk membangun wilayah Desa Cikahuripan.

Tim lalu memfasilitasi beberapa kali FGD masyarakat untuk dapat memetakan hal-hal tersebut menggunakan pendekatan SWOT serta merancang rencana untuk jangka pendek, menengah, dan panjang. Proses tersebut membuahkan beberapa hasil seperti indikator desa wisata tangguh bencana, logo, dan slogan Desa Cikahuripan, kain furoshiki yang mengandung pesan siaga bencana untuk membungkus produk-produk lokal, hingga program wisata berjalan (walking tour). Akhir 2021, program walking tour mulai diuji coba di dua area penting Desa Cikahuripan, yaitu Benteng Belanda Cikahuripan dan Lembah Cikahuripan.

 

Melembagakan upaya PRBBK 

Untuk mencapai tujuan tersebut, masyarakat merasa perlu adanya suatu bentuk kelembagaan yang formal di bawah organisasi BUM-Des yang beranggotakan fasilitator, tokoh masyarakat, dan perangkat desa. Kelembagaan tersebut akan memperkuat pelaksanaan Rencana Induk Desa Wisata Tangguh Bencana. Hal itu juga lantaran fungsi tiap-tiap lembaga di bawah pemerintahan desa seperti Destana, Pokdarwis, Karang Taruna, bahkan BUM-Des sendiri diharapkan tidak tumpang-tindih dan berjalan selaras.

Dari hasil diskusi dengan berbagai lembaga di bawah pemdes, dirumuskan jaring kerja sama yang dapat melanggengkan upaya PRBBK di Desa Cikahuripan. Destana yang hanya boleh menyelenggarakan kegiatan terkait kebencanaan disandingkan dengan Pokdarwis yang berfungsi mendorong perkembangan pariwisata lokal. Dengan demikian, secara kelembagaan menjadi jelas bahwa Destana merancang program wisata yang berkaitan dengan pengurangan risiko bencana, sementara Pokdarwis bertanggung jawab untuk mengemas serta memasarkannya. Lalu, karena lembaga yang difungsikan untuk menggerakkan perekonomian masyarakat desa ialah BUM-Des, pelibatannya penting supaya sumber daya desa tetap dikelola lembaga yang tepat. Kemudian terkait upaya pengembangan sumber daya manusia yang kompeten dalam mengelola program desa wisata tangguh bencana, Karang Taruna juga turut dilibatkan.

Sesuai rencana induk pengembangan Desa Wisata Tangguh Bencana Cikahuripan jangka menengah, pada tahun ini, kami berfokus merancang pengembangan model mitigasi bencana, khususnya di wilayah Benteng Belanda Cikahuripan, mengembangkan rencana bisnis dan pemasaran (bersama BUM-Des) untuk program-program wisata serta produk-produk lokal yang akan ditawarkan dan mencapai target 1.000 wisatawan per tahun. Itu juga menjadi tahun uji coba untuk jaring kerja sama lembaga-lembaga desa agar dapat menemukan bentuk yang lebih ajek lagi.

Pada tahun ini, Dr Prasanti Widyasih Sarli dari FTSL ITB dan Dr Nila Armelia Windasari dari SBM ITB turut serta memfasilitasi masyarakat yang tengah mengawali rencana-rencana jangka menengah mereka. Dr Prasanti Widyasih Sarli melakukan kajian risiko di tingkat keluarga terkait ketahanan bangunan yang rencananya akan diolah dalam bentuk protokol tetap untuk setiap rumah. Sementara itu, Dr Nila Armelia Windasari akan mendampingi dalam pengemasan dan pemasaran program-program wisata yang sudah dirancang agar dapat dijalankan secara berkelanjutan.

Lebih lanjut, pada 26 hingga 28 Agustus besok, masyarakat akan menghelat festival budaya untuk merayakan 100 Tahun Desa Cikahuripan. Festival tersebut akan dimanfaatkan untuk meningkatkan kesadaran siaga bencana melalui unsur seni budaya setempat, seperti tarawangsa, pencak silat, dan pertunjukan wayang. Diharapkan, melalui upaya tersebut, pesan kesiapsiagaan bencana dapat lebih mudah dicerna dan menjadi budaya yang melekat dalam keseharian masyarakat desa. (M-2)

 

 

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya