Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Fokus

Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.

Informasi Hoaks Meningkat di Masa Pandemi

Ghani Nurcahyadi
08/10/2021 21:58
Informasi Hoaks Meningkat di Masa Pandemi
Ilustrasi hoaks(Ilustrasi )

ANGKA penyebaran hoaks atau berita bohong di media sosial dan media online meningkat di masa pandemi Covid-19. Hal tersebut disampaikan Kepala Divisi Riset Indonesia Indikator, Fanny Chaniago, dalam diskusi daring yang diadakan Jumat (8/10). 

Menurut Fanny, berita hoaks tersebut muncul ditengah ketidakpastian informasi mengenai Covid-19 di awal-awal pandemi. Sementara informasi mengenai covid di media sosial mengalir dengan deras. “Media online juga jadi pemicu maraknya informasi hoaks, karena tak sedikit yang membahasnya,” ujar Fanny.

Ia menambahkan, berdasarkan data yang dihimpun Indonesia Indikator, informasi hoaks yang menyebar di masa pandemi mengalami pasang surut, seiring dengan krisis dan momentum yang terjadi di Indonesia. Fanny mencontohkan, setelah awal pandemi, berita hoaks Kembali marak Ketika vaksinasi mulai dilakukan pada awal 2021. Setelah itu sempat menurun, lalu meningkat lagi Ketika Varian Delta menyebar pada pertengahan 2021.

Fanny melanjutkan, pengguna internet di Indonesia terbesar adalah pada rentang usia 18-35 tahun, yang jumlahnya lebih dari 50 persen. Tingginya angka menjadi sasaran empuk bagi penyebar hoaks. 

Menurut dia, sedikitnya ada tiga kelompok masyarakat yang menyebarkan hoaks selama pandemi, yakni yang bertujuan untuk melakukan tekanan politik kepada pemerintah, kedua membuat masyarakat bingung dengan kondisi pandemi dan yang terakhir yang ingin mengambil keuntungan ekonomi dari pandemi. Menurut dia, motif yang kedua adalah yang paling banyak memakan korban

“60 persen lebih warganet percaya dengan hoaks seputar pandemi,” kata Fanny. 

Menyambung fakta yang diurai Fanny, Co-Founder & CMO of Bicara Project, Chika Audhika mengatakan, etika komunikasi warganet di media sosial belum baik. Tidak sedikit pengguna internet yang masih memuat konten negatif di banding yang positif. Ia sangat menyayangkan hal ini, karena karena sebenarnya banyak fungsi media sosial yang berguna untuk kehidupan seseorang dalam jangka panjang. 

“Saat ini tidak sedikit perusahaan yang menjadikan isi media sosial seseorang sebagai salah satu penilaian dalam rekrutmen kerja,” ujar Chika.

Baca juga : Mensos: Tak Sekedar Gambar di Mata Uang, Generasi Muda Mesti Teladani Semangat Pahlawan Bangsa

Ia mengimbau masyarakat menghindari konten negatif ketika bermain media sosial, karena semua aktivitas disana akan terekam secara digital. Menurut Chika, celah seseorang untuk menghindar dari jeratan hukum di dunia maya semakin kecil, sekalipun menggunakan akun anonim. 

Selain kini Indonesia memiliki Undang-undang ITE, informasi tentang pemilik akun dapat dengan mudah ditelusuri. Karena ketika seseorang hendak membuat akun media sosial, ada data pribadi yang harus dimasukkan sebagai persyaratan. 

Sementara itu, Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, yang juga Penulis Buku Etika Komunikasi di Era Siber, Fajar Junaedi berpendapat, etika di media sosial tidak jauh berbeda dengan etika di kehidupan sosial pada umumnya. Ada norma-norma yang harus dijaga, layaknya di kehidupan sehari-hari, seperti sopan santun dan tata krama. 

"Media sosial adalah cermin dari kepribadian seseorang,” kata Fajar

Namun terkait dari teknis penyebaran informasi, ada sedikit pergeseran perilaku. Dulu, menurut Fajar, informasi disampaikan oleh institusi atau lembaga yang resmi dan kredibel, contohnya media massa. Tingkat akurasinya pun sangat tinggi, karena informasi tersebut telah melewati berbagai proses penyaringan. 

Namun kini informasi bisa disebarkan oleh siapapun melalui media sosial, tanpa adanya filter. Ini kemudian yang membuat informasi atau berita hoaks bisa menyebar di masyarakat.

Karena itu ia meminta pemerintah memasukkan pengetahuan mengenai literasi media dalam kurikulum pendidikan di Indonesia. 

“Selama ini masyarakat mendapatkan pengetahuan tentang media sosial secara otodidak, bukan dari lembaga pendidikan resmi,” ungkap Fajar. (RO/OL-7)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ghani Nurcahyadi
Berita Lainnya