Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
BERDASARKAN data studi gabungan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Institut Guttmacher, satu dari empat kehamilan di dunia setiap tahunnya berakhir dengan aborsi.
Angka aborsi di Tanah Air sendiri pun masih terbilang cukup tinggi. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mencatat kasus aborsi di Indonesia bisa mencapai 2,4 juta per tahun.
Baca juga: Ini Daftar Makanan yang Harus Dihindari Ibu Hamil
Sama seperti setiap tindakan medis lain, aborsi juga memiliki risiko, apalagi jika dilakukan di tempat dengan fasilitas terbatas, bukan oleh tenaga medis, tidak ada kondisi medis yang mendasari, serta dilakukan dengan metode yang tidak aman.
Berikut adalah risiko dari aborsi:
1. Perdarahan berat
Aborsi kehamilan di bawah 13 minggu memiliki risiko perdarahan yang lebih kecil dibandingkan kehamilan yang usianya sudah di atas 20 minggu.
Perdarahan berat juga lebih berisiko terjadi jika masih ada jaringan janin atau ari-ari yang tertinggal di dalam rahim setelah aborsi.
Untuk menanganinya, diperlukan transfusi darah dan tindakan kuret untuk mengangkat sisa jaringan.
2. Cedera pada rahim atau infeksi akibat aborsi yang tidak tuntas
Infeksi merupakan salah satu komplikasi yang sering terjadi akibat aborsi. Kondisi ini biasa ditandai dengan munculnya keputihan yang berbau, demam, dan nyeri yang hebat di area panggul.
Pada kasus infeksi yang berat, bisa terjadi sepsis setelah aborsi.
3. Menurunnya kemungkinan kembali hamil
Dalam waktu 4-6 minggu setelah aborsi, haid akan kembali seperti biasa. Dengan kata lain, pasien dapat hamil lagi setelah aborsi.
Namun, pasien perlu melakukan pemeriksaan rutin selama setidaknya 2 minggu setelah aborsi, guna memastikan aborsi yang dilakukan berhasil dan tidak menimbulkan komplikasi.
Setelah aborsi, risiko gangguan kesuburan tetap ada jika pasien mengalami perdarahan parah, infeksi pada rahim yang tidak ditangani, atau kerusakan dinding rahim.
Selain dapat menimbulkan masalah kesuburan, hal-hal tersebut juga dapat meningkatkan risiko terjadinya kehamilan ektopik dan persalinan prematur di kehamilan berikutnya.
4. Kerusakan pada rahim dan vagina
Bila tidak dilakukan dengan benar, aborsi dapat menyebabkan kerusakan pada rahim dan vagina. Kerusakan ini dapat berupa lubang maupun luka berat pada dinding rahim, leher rahim, serta vagina.
Semua metode aborsi memiliki risiko atau komplikasi. Usia kehamilan turut berperan dalam menentukan tingkat risiko. Semakin tua usia kehamilan, semakin tinggi pula risiko dari tindakan aborsi yang dilakukan. (OL-1)
Keputusan untuk aborsi menjadi otoritas pada korban, di mana korban dapat membatalkan untuk melakukan aborsi setelah mendapatkan pendampingan.
Sementara ketentuan aborsi diatur dalam PP 28/2024 Pasal 116 yakni setiap orang dilarang melakukan aborsi, kecuali atas indikasi kedaruratan medis atau terhadap korban tindak pidana
Menurut ICJR, praktiknya penyediaan layanan aborsi aman tidak terlaksana di lapangan dikarenakan tidak ada realisasi konkret dari pemangku kepentingan untuk menyediakan layanan.
JD Vance, calon wakil presiden Donald Trump, telah mengubah pandangannya tentang aborsi.
Mahkamah Agung AS memutuskan menolak upaya sekelompok dokter dan aktivis anti-aborsi yang ingin membatasi akses terhadap pil aborsi mifepristone.
Mahkamah Agung AS terlihat terbagi dalam kasus mengenai larangan hampir total terhadap aborsi di Idaho.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved