Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Fokus

Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.

Kebijakan Pengembalian Klaim ke BPJS Rugikan Rumah Sakit

Indriyani Astuti
10/8/2019 20:55
Kebijakan Pengembalian Klaim ke BPJS Rugikan Rumah Sakit
Guru Besar FKM UI Hasbullah Thabrani(dok. pribadi)

ASOSIASI rumah sakit keberatan dengan kebijakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang mengharuskan rumah sakit mengembalikan biaya klaim. Kebijakan itu dilakukan sebagai tindaklanjut tinjau ulang kelas rumah sakit yang diterapkan pemerintah pascaaudit dari Badan Pengwas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Sekretaris Perwakilan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) cabang Banten Anitya Irna mengatakan, di wilayah ada 11 rumah sakit yang mendapatkan surat edaran dari BPJS Kesehatan. Penurunan kelas rumah sakit, terangnya,akan berdampak pada besaran tarif klaim yang dibayarkan BPJS Kesehatan. Semakin tinggi kelas rumah sakit, semakin besar tarifnya. Rumah sakit yang direkomendasikan turun kelas, diminta mengembalikan kelebihan klaim yang sudah dibayarkan BPJS Kesehatan. Ia menuturkan hal itu sangat memberatkan arus kas rumah sakit. Ditambah lagi, dengan adanya keterlambatan pembayaran dari BPJS Kesehatan.

"Kami diminta melakukan pengembalian biaya klaim yang dibayarkan BPJS Kesehatan, sesuai dengan hasil tinjau ulang kelas. Padahal uangnya sudah digunakan untuk pelayanan dan operasional," terangnya dalam konferensi pers  seusai diskusi publik bertajuk "JKN Terjebak dalam Regulasi yang Saling Mengunci" yang diselenggarakan oleh Ikatan Dokter Indonesia cabang Banten dan Persi cabang Banten, Tanagerang, Sabtu (11/8). Diskusi melibatkan sejumlah ahli di bidang hukum dan ekonomi terkait kesehatan dan dimoderatori oleh Direktur Pemberitaan Media Indonesia Usman Kansong.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Centre for Health Economics and Policy Studies sekaligus Guru Besar dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Hasbullah Thabrani menuturkan, keluhan rumah sakit merupakan salah satu dampak dari  penetapan iuran yang masih di bawah  perhitungan aktuaria yang direkomendasikan oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN).

Menurutnya, masalah utama dalam program JKN bukan pengeluaran yang terlampau besar, tetapi premi iuran yang dibayarkan oleh  peserta masih belum ideal. Ia mencntohkan untuk segmen peserta penerima upah besaran iuran masih sebesar 5% dari gaji atau upah per bulan dengan ketentuan 3%  dibayar oleh pemberi kerja dan 2% dibayar oleh peserta.

Untuk pegawai swasta sebesar 5% dari gaji atau upah per bulan dengan ketentuan 4% dibayar oleh pemberi kerja dan 1% dibayar oleh peserta. Sementara untuk segmen peserta bukan penerima upah sebesar Rp25.500 per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas III, Rp51.000 per orang per bulan untuk kelas II, dan Rp80.000 untuk kelas I.

"Untuk segmen PBPU iuran yang ditetapkan terlalu kecil," tuturnya.

Imbas dari belum idealnya premi iuran, terang Hasbullah, dana kapitasi yang dibayarkan oleh BPJS Kesehatan pada fasilitas kesehatan tingkat pertama tidak naik dan jasa medis dokter dibayar rendah. Sementara itu, Guru Besar Fakultas Kedokteran dan Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Gadjah Mada (UGM) Laksono Trisnantoro berpendapat, penaikan tarif iuran tidak hanya dengan satu pola, tetapi harus mempertimbangkan segmen lain.

Pasalnya dana JKN yang dibayarkan oleh pemerintah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk peserta BPJS Kesehatan segmen penerima bantuan iuran (PBI) justru digunakan untuk menutup biaya klaim dana kesehatan dari kelompok peserta bukan penerima upah (PBPU).

"Kita tahu ada kelompok peserta pada segmen PBPU yang jumlahnya sekitar 30 juta orang, tapi separuhnya nunggak iuran," cetusnya.

Saat ini jumlah peserta PBI yang dibayarkan oleh pemerintah sebanyak 96,5 juta jiwa dengan tarif premi Rp23.500 per orang setiap bulan. Adapun peserta segmen PBPU berjumlah 34,1 juta jiwa, peserta pekerja penerima upah (PPU) aparatur sipil negara sebanyak 17,5 juta jiwa, dan PPU swasta 32,5 juta jiwa dan bukan pekerja 5,1 juta.

Pada kesempatan yang sama,  Ketua Asosiasi Dosen Hukum Kesehatan Indonesia M.Nasser selaku panelis dalam diskusi, menyampaikan kisruh dalam program JKN seperti tinjau ulang kelas rumah sakit, sistem rujukan, dan lain-lain dampak dari regulasi yang tidak sinkron. Ia menyebut ada 7 pasal dalam Peraturan Presiden No. 82/2018 tentang Optimalisasi Program JKN, sekurang-kurangnya yang  bertentangan dengan 3 perundangan yakni Undang-undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, Undang-undang tentang BPJS, dan Undang-undang Pembentukan Peraturan Perundangan.

"Dari sisi kewenangan perpres ini cenderung mengecilkan arti, fungsi dan kewenangan DJSN serta memasukkan kewenangan baru melalui Kementerian Kesehatan membuat banyak peraturan Menteri Kesehatan terkait JKN yang tidak ada dalam UU," tuturnya. (OL-8)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Polycarpus
Berita Lainnya