Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
KAMAR Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menilai wajar mengenai tren penurunan surplus neraca perdagangan. Sebab, surplus yang dalam tiga tahun terakhir terjadi lebih banyak didorong oleh fluktuasi harga komoditas unggulan dan tingginya permintaan di pasar internasional.
"Jadi (surplus dagang) ini bukan kondisi yang bisa kita pertahankan selamanya, tetapi sangat tergantung pada fluktuasi pasar komoditas global," ujar Wakil Ketua Umum bidang Bidang Maritim, Investasi, dan Luar Negeri Kadin Indonesia Shinta Widjaja Kamdani saat dihubungi, Kamis (15/6).
Dia menambahkan, tren harga komoditas dan permintaan global sedari awal 2023 telah melandai, alias mengalami normalisasi pasca-shock yang ditimbulkan dari konflik geopolitik Rusia-Ukraina. Hal itu menurutnya akan terus terjadi sepanjang tahun dan amat berat mempertahankan surplus dagang tanpa adanya respons yang cepat serta tepat dari Indonesia.
Baca juga: Neraca Dagang Diprediksi Surplus Tipis di 2023
Di saat yang sama, kondisi ekonomi Indonesia yang semakin mendekati level prapandemi turut mengerek kenaikan impor dalam semua kategori, baik barang modal, bahan baku/penolong, dan konsumsi. Kondisi itu kian memperberat surplus dagang untuk dipertahankan.
Seberapa cepat Indonesia kehilangan momen surplus dagang amat bergantung dari tindakan pemerintah. Stimulus untuk meningkatkan volume ekspor dan mendorong permintaan ekspor produk bernilai tambah menurut Shinta menjadi kuncinya.
Baca juga: Neraca Dagang Indonesia Surplus, Tiga Negara Penyumbangnya
"Bila kinerja ekspor kita bisa dipacu pertumbuhan kinerjanya, surplus neraca dagang bisa dipertahankan lebih lama. Tetapi kalau tidak bisa distimulasi secara eksponensial dan segera, seperti tren yang terjadi selama ini, tentu defisit neraca dagang akan lebih cepat terjadi di tahun ini," jelas Shinta.
Kendati demikian, neraca dagang yang defisit juga tak serta merta mencerminkan keburaman ekonomi Indonesia. Bagi pelaku usaha, imbuh Shinta, asalkan struktur impor Indonesia baik dan ditopang oleh bahan baku/penolong serta barang modal, maka defisit dagang dapat berimplikasi positif.
Itu karena defisit dagang tersebut bersifat produktif dan menunjang perekonomian nasional secara keseluruhan. Pasalnya hal itu terasosiasi dengan ekspansi kapasitas produksi dalam jangka panjang dan ekspansi produktivitas atau kinerja usaha jangka pendek.
"Karena itu, yang lebih kami soroti adalah struktur impor dan besaran peningkatan impor di masing-masing kategori impor," tutur Shinta.
Dia kembali menekankan, peranan pemerintah amat krusial dalam menyikapi peningkatan impor. Sebab, bila dilihat lebih dalam, lonjakan impor barang modal dapat mengindikasikan berkurangnya penciptaan lapangan kerja.
Utamanya bila impor barang modal itu didominasi oleh permesinan yang mengindikasikan peningkatan ekspansi usaha bersifat capital intensive atau padat teknologi. "Ini perlu diwaspadai dalam jangka pendek oleh pemerintah. Karena kondisi ini mengindikasikan pertumbuhan lapangan kerja akan lebih dominan terjadi bagi skilled workers, bukan untuk unskilled workers yang masih sangat mendominasi struktur tenaga kerja nasional," urai Shinta.
"Karena itu perlu respons atau difollow up dengan percepatan transformasi skill tenaga kerja agar sesuai dengan jenis kebutuhan skill pekerja di perusahaan padat modal. Kalau tidak ada respon cepat dan agile terkait itu, pertumbuhan investasi dan ekspansi usaha secara capital intensive ini tidak akan memberikan dampak ekonomi yang cukup baik untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional," lanjutnya.
Sebab, menurut Shinta, kondisi tersebut tidak menciptakan peningkatan serapan tenaga kerja yang cukup tinggi dan penciptaan daya beli masyarakat yang lebih signifikan untuk mendongkrak konsumsi domestik sebagai sumber utama pertumbuhan PDB Indonesia. (Mir/Z-7)
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan kembali membanggakan neraca perdagangan nasional yang terus menunjukkan tren positif. Surplus selama 48 bulan menurutnya patut diapresiasi.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada perdagangan Kamis (16/5) ditutup menguat dipengaruhi oleh penurunan inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) Amerika Serikat (AS) April 2024.
Surplus akan sehat jika faktor pendorongnya dari peningkatan ekspor. Sekarang, ekspor kita justru turun dan bisa surplus karena impor turun lebih tajam.
Neraca perdagangan Indonesia mencatatkan surplus selama 48 bulan atau 4 tahun beruntun sejak Mei 2020.
Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag) Jerry Sambuaga menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam kondisi yang baik karena terus menerus di kisaran 5% dalam beberapa tahun terakhir.
Nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar AS pada perdagangan Rabu (15/5) dibuka menguat menjelang rilis data neraca perdagangan domestik April 2024.
Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, mengumumkan bahwa negara ini kini tidak hanya mencapai swasembada pangan, tetapi juga mulai mengekspor surplus unggas dan telur
INDONESIA kembali mencatatkan surplus perdagangan pada Juni 2024. Namun nilai surplus di bulan keenam tahun ini menjadi yang paling rendah dalam empat bulan terakhir, yakni US$2,39 milar.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga April 2024 masih mencatatkan surplus senilai Rp75,7 triliun, setara 0,33% dari PDB
Surplus neraca dagang tak selalu berdampak langsung pada kondisi perekonomian. Apalagi jika surplus tersebut terjadi karena penurunan kinerja baik dari sisi ekspor maupun impor.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved