Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Fokus

Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.

Simplifikasi Industri Hasil Tembakau Jadi Pembahasan

Mediaindonesia.com
23/8/2021 13:51
Simplifikasi Industri Hasil Tembakau  Jadi Pembahasan
Anggota Komisi XI DPR-RI, Mukhamad Misbakhun.(Ist/DPR)

WAHANA penyederhanaan golongan (simplifikasi) dalam industri hasil tembakau (IHT) kembali mencuat.

Berbagai argumentasi dilontarkan untuk mendukung wacana ini misalnya, bahwa simplifikasi akan menutup celah penghindaran pajak oleh perusahaan rokok, menciptakan level playing field antar produsen rokok, mengembalikan penerimaan negara yang hilang dari sistem cukai yang rumit, dan mengoptimalkan pengendalian konsumsi rokok. 

Ada juga argumentasi yang mengatakan simplifikasi tidak akan menimbulkan pengangguran dan menumbuhkan peredaran rokok ilegal. Wacana simplifikasi ini disodorkan setelah keinginan kelompok antitembakau untuk merevisi PP 109/2012 tidak menghasilkan respons yang diinginkan.

Anggota Komisi XI DPR-RI, Mukhamad Misbakhun, menilai simplifikasi dan kontribusi IHT bersifat paradoksal.

“Selalu ada pertentangan antara kelompok antitembakau dengan kelompok yang realistis melihat bahwa IHT ini memberikan dampak kesejahteraan kepada masyarakat, mengangkat kemiskinan masyarakat,” ujar Misbakhun dalam sebuah keterangan dikutip, Senin (23/8).

Misbakhun tidak memungkiri efek buruk dari rokok, namun manfaatnya juga harus dilihat. IHT memberikan penerimaan negara hampir Rp300 triliun. Ada pajak daerah yang dibayarkan ke Pemda.

“Ini harus secara nyata disampaikan, jangan hanya pembatasan rokok semata,” tegasnya.

Menaikkan cukai dengan tujuan untuk mengurangi konsumsi, baik itu membuat industri rumahan, dan menengah, itu bukan sebuah prestasi. Itu mematikan unsur ekonomi rakyat, dan yang berkembang malah industri besar.

“Berbahaya bila penerimaan cukai hanya bergantung kepada 4 perusahaan,” katanya.

Soal dampak simplifikasi terhadap penerimaan negara, menurut Misbakhun, sangat jelas. Simplifikasi ini sangat mengganggu perkembangan IHT kecil untuk menjadi IHT menengah, IHT menengah menjadi besar.

“IHT selalu dihadang dengan tarif cukai yang sangat memberatkan mereka. Penjualan belum mereka dapatkan namun uang penebusan cukai harus dibayar di depan,” lanjutnya.

Simplifikasi dipandang tidak akan mengurangi konsumsi, malah hanya membuat orang mengalihkan konsumsinya dari rokok bermerek jadi rokok yang lebih murah, yang boleh jadi kandungan tar dan nikotinnya besar, kemudian tidak membayar cukai. 

Misbakhun melihat Pemerintah tidak pernah membuat pembinaan yang memadai terhadap IHT. 

Sulami Bahar, Ketua Gabungan Perusahaan Rokok (Gapero) Surabaya, menilai argumentasi yang dilontarkan kelompok antitembakau dalam menggolkan simplifikasi tidak didasarkan pada kondisi sebenarnya.

Dengan adanya simplifikasi, menurut Sulami, harga rokok akan semakin tinggi karena golongan-golongan kecil dan menengah yang ada dalam struktur tarif cukai IHT akan dipaksa naik kelas. Dapat dipastikan kebanyakan pelaku IHT di golongan bawah yang dipaksa menaikkan harga tersebut tidak akan mampu bertahan. 

Menurutnya, penyamarataan kemampuan semua produsen rokok adalah penilaian yang salah kaprah dan menyesatkan. 

Gabungan Perusahaan Rokok (Gapero) Malang malah melangkah lebih jauh dengan mengirim surat kepada Presiden RI pekan lalu. “Kami meminta tarif cukai tidak naik dan tidak ada simplifikasi,” lanjutnya.

Purnomo, Pimpinan Daerah FSP RTMM Jawa Timur, berharap agar tarif cukai hasil tembakau tidak mengalami kenaikan tahun depan. Penutupan pabrik dan pemutusan hubungan kerja akan terjadi akibat kenaikan cukai yang tinggi. (RO/OL-09)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Deri Dahuri
Berita Lainnya