Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
BISNIS peer to peer (P2P) lending diprediksi bakal terus tumbuh pada tahun ini meski kondisi masih dilanda pandemi covid-19. Karena itu, dibutuhkan adaptasi manajemen pelaku fintech lending yang cepat untuk mengatasi berbagai tantangan.
Menurut Deputi Bidang Pengaturan, Penelitian, dan Pengembangan Fintech Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Munawar Kasan, pada 2021 ada dua hal yang jadi tantangan bagi industri fintech lending sekaligus perhatian regulator, yakni meningkatkan kualitas dan kontribusi pinjaman.
“Kualitas pinjaman bisa ditingkatkan dengan mempertajam credit scoring yang digunakan penyelenggara fintech lending. Terkait kontribusi, kami ingin pembiayaan bagi sektor produktif tersebut naik. Karena itu, pada POJK (peraturan OJK) diwajibkan menyalurkan pembiayaan produktif meskipun angkanya (besaran) masih kita olah,” ungkap dia dalam diskusi ekonomi digital, pekan lalu.
Sebelumnya, regulator merencanakan tiap penyelenggara fintech lending wajib menyalurkan pinjaman sebesar 40% untuk produktif. Otoritas juga berencana mewajibkan penyaluran pinjaman 25% ke luar Jawa. Namun, angka tersebut belum final lantaran masih dalam pembahasan.
Berdasarkan data OJK, penyaluran pinjaman fintech lending naik 102,44% year on year (yoy) pada Oktober 2020 sebesar Rp137,66 triliun. Sementara itu, pada outstanding pinjaman mencapai Rp13,24 triliun atau tumbuh 18,39% yoy.
Direktur Eksekutif Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Kuseryansyah menyatakan tahun ini pinjaman fintech lending setidaknya mencapai angka Rp86 triliun. Pertumbuhan tersebut sudah terlihat sejak akhir 2020.
“Ternyata itu cepat sekali adaptasi dari machine learning atau credit scoring sehingga kesiapan untuk tumbuh kembali itu sudah terlihat di Oktober 2020. Pada November 2020, angkanya lebih dari Rp8,9 triliun,” kata dia.
Sebenarnya, menurut dia, pada 2020 AFPI memproyeksi pinjaman fintech lending bisa mencapai nilai Rp86 triliun. Namun, pandemi memberikan dampak pada perekonomian sehingga asosiasi merevisi proyeksi menjadi Rp60 triliun.
“Nah, kami yakin di 2021, angka Rp86 triliun itu adalah angka minimal yang bisa kami salurkan. Tentu saja dengan sangat membandingkan aspek manajemen risiko, perlindungan konsumen, dan lain-lain. Jadi, itu angka yang sangat realistis untuk dicapai pada 2021,” jelasnya.
Platform berizin
Saat ini berdasarkan data OJK, ada 151 perusahaan fintech P2P lending alias platform pinjaman daring yang terdaftar dan berizin. Jumlah itu berdasarkan data per 15 Desember 2020. Padahal, pada 7 Desember 2020, terdapat 152 fintech lending yang diawasi regulator.
Jumlah tersebut berkurang satu lantaran OJK membatalkan surat tanda bukti terdaftar terhadap satu entitas. Fintech yang dibatalkan surat terdaftarnya ialah PT Solusi Finansial Inklusif Indonesia (Telefin). (S-3)
Di 2020, karyawan pada usaha ini sebanyak 30 orang. Empat tahun kemudian usahanya meningkat menjadi 100 karyawan yang bekerja sebagai pemotong kain, penjahit, dan petugas di bagian penjualan.
Bank Sumsel Babel terus berinovasi di sektor teknologi finansial (fintech) dengan memaksimalkan layanan Kartu Kredit Pemerintah Daerah (KKPD).
Penggunaan aplikasi teknologi keuangan (financial technology) semakin meluas. Selain berfungsi sebagai alat pembayaran, fintech juga dapat dimanfaatkan untuk berbagai aktivitas keuangan
Masyarakat yang unbankable atau underserved lebih memilih pembiayaan digital alternatif seperti fintech P2P Lending
Langkah-langkah preventif sangat penting untuk mencegah dan mengantisipasi praktik judi online dalam ekosistem fintech.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meminta perbankan untuk turut serta memberantas aktivitas judi online atau daring yang kian marak.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved