Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Fokus

Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.

Literasi Masyarakat masih Minim, Butuh Agresivitas OJK

Despian Nurhidayat
08/12/2020 13:05
Literasi Masyarakat masih Minim, Butuh Agresivitas OJK
SOSIALISASI LAYANAN PINJAMAN DARING: Pengendara ojek daring bersiap menggelar aksi konvoi saat sosialisasi layanan aplikasi UangTeman.(ANTARA/Zabur Karuru)

KETUA Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Rizal Edy Halim menyebut sangat rendahnya mitigasi keuangan masyarakat atas kehadiran financial technology (fintech).

Hal ini terlihat dari Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) ketiga yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2019 lalu, yang menunjukkan indeks literasi keuangan mencapai 38,03% dan indeks inklusi keuangan 76,19%.

"Artinya pemahaman, pengetahuan, dan kebijaksanaan dalam menggunakan jasa di sektor keuangan itu relatif rendah. Sehingga apa yang terjadi, kalau literasi kecil dan kita membombardir masyarakat dengan jasa fintech? Yang terjadi adalah menjebak konsumen ke dalam utang. Nah ketika utang menumpuk, ini akan menjerumuskan masyarakat ke dalan kemiskinan," ungkapnya dalam Forum Diskusi Salemba bertajuk Menimbang Peran OJK dalam Menjamin Regulasi Perlindungan Konsumen Industri Keuangan Era Pandemi Covid-19 secara daring, Selasa (8/12).

Rizal menambahkan, hal itu bukan berarti saat ini fintech masih belum boleh berkembang. Hanya saja, hal yang harus dilakukan adalah sosialisasi dan edukasi yang optimal oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sehingga konsumen bisa lebih utuh memahami jasa pinjaman online.

Selain itu, berdasarkan temuan satgas waspada investasi OJK, lebih dari 50% fintech asing ilegal berasal dari Tiongkok, AS, Singapura, dan Malaysia yang beroperasi di Indonesia dan berpotensi merugikan konsumen.

"Kami memandang fintech ini belum memiliki kepastian hukum bagi konsumen," kata Rizal.

Di diskusi yang sama, Deputi Komisioner Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK Sarjito mengatakan, saat ini pihaknya memiliki Aplikasi Portal Perlindungan Konsumen (APPK) untuk menyelesaikan permasalahan pengaduan dan sengketa.

Bila melalui APPK tidak ditemukan titik temu, konsumen dapat mengambil jalur hukum melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS). Meskipun demikian, dia menekankan bahwa masyarakat perlu lebih waspada untuk melakukan tindakan sebelum terjebak dalam fintech ilegal.

"Karena perlu diketahui, jika masyarakat atau seseorang yang sudah menabung di bank gelap atau sudah terjebak di fintech ilegal, itu sudah bukan termasuk kategori konsumen lagi," ujar Sarjito.

Analis Ekonomi Policy Center Iluni UI Fadli Hanafi menambahkan perlu  adanya penguatan eksistensi dan kewenangan OJK dalam melakukan fungsi pengaturan dan pengawasan sesuai UU No. 21/2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

"Perlu juga ada peningkatan peran institusi atau lembaga investasi resmi untuk melakukan edukasi dan sosialisasi perlindungan konsumen. Juga campaign OJK harusnya tidak hanya fokus pada pemanfaatan produk sektor keuangan, namun lebih kepada konten edukasi dan sosialisasi perlindungan konsumen," pungkas Fadli. (E-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Mirza
Berita Lainnya