Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Pemerintah Perlu Gandeng KPK Cegah Kebocoran Penerimaan Cukai

Media Indonesia
26/8/2019 10:30
Pemerintah Perlu Gandeng KPK Cegah Kebocoran Penerimaan Cukai
Pekerja melinting rokok Sigaret Kretek Tangan (SKT) dengan alat linting di Kudus, Jawa Tengah.(ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho)

PUSAT Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) meminta pemerintah menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mencegah kebocoran penerimaan cukai dari industri hasil tembakau bernilai triliunan.

KPK dinilai dapat memberikan rekomendasi sebagai bahan pertimbangan pemerintah mengevalu­asi kebijakan tarif cukai rokok.

Direktur Advokasi Pukat UGM, Oce Madril menyatakan KPK bisa memberikan rekomendasi jika berdasarkan kajian ditemukan adanya sistem yang berpotensi merugikan negara.

“KPK bisa merekomendasikan agar kebijakannya dicabut atau direvisi atau mungkin merekomendasikan dibuat kebijakan baru. Eksekusinya tetap di pemerintah dengan melibatkan partisipasi semua pihak,” kata Oce kepada wartawan, pekan lalu.

Oce menjelaskan pemerintah harus menerapkan aturan seca­ra konsisten. Pemerintah harus menutup setiap peluang kecurang­an, salah satunya dengan menghapu­s berbagai area abu-abu yang bisa dimanfaatkan pihak tertentu. Kecurangan itu, misalnya, terkait dengan permainan pabrik­an rokok dalam hal struktur tarif cukai.

Salah satu kebijakan yang dalam beberapa bulan terakhir menjadi polemik ialah sistem tarif cukai rokok yang kini sedang digodok Kementerian Keuangan.

Salah satunya terkait dengan batasan produksi sigaret keretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM). Kebijakan itu diduga memiliki celah yang bisa dimanfaatkan pabrikan besar asing agar membayar tarif cukai rokok lebih murah.

Batasan produksi SKM dan SPM sebelumnya diatur Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 146/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Dalam peraturan tersebut, setiap perusahaan rokok yang secara total memproduksi 3 miliar batang SKM dan SPM harus membayar tarif cukai tertinggi (golongan I) di golongan masing-masing.

Ketentuan itu kemudian dihapus saat Kementerian Keuangan me­revisi tarif cukai tahun lalu dengan menerbitkan PMK Nomor 156/2018. Akibatnya, perusahaan besar asing punya peluang membayar tarif cukai rokok lebih rendah meskipun total produksi SKM dan SPM mereka melampaui 3 miliar batang.

KPK pernah mendapatkan apresiasi yang sangat positif ketika memberikan rekomendasi kepada Presiden mengenai rokok. Pada Februari 2019, Komisi antirasywah itu mengirimkan rekomendasi agar pemerintah mencabut insentif fiskal terhadap rokok di kawasan perdagangan bebas (free trade zone/FTZ). (E-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya