Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
SETELAH memilih delapan hakim ad hoc pengadilan hak asasi manusia (HAM), Mahkamah Agung (MA) langsung menyiapkan proses pengajuan ke Presiden.
Pengajuan diperlukan agar para hakim terpilih bisa segera dilantik dan bekerja mengadili perkara dugaan pelanggaran HAM berat pada Peristiwa Paniai.
"MA pada saat ini tengah menyiapkan pengajuan calon hakim ad hoc kepada Presiden dan akan segera dikirimkan pengajuan tersebut," kata Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat MA Sobandi saat dikonfirmasi melalui keterangan tertulis, Selasa (26/7).
Sobandi belum bisa memastikan kapan delapan hakim ad hoc terpilih itu dilantik. Sebab, proses itu sangat bergantung pada keluarnya Keputusan Presiden (Keppres). Dalam hal ini, pihaknya berharap agar Presiden bisa segera menandatangni Keppres tersebut.
Baca juga: Kontras Sangsi Kualitas Calon Hakim Ad Hoc HAM
"MA berharap Keppres tersebut akan bisa segera ditandatangani mengingat urgensi agar pengadilan HAM segera bisa efektif," tandas Sobandi.
Diketahui, masing-masing empat dari delapan hakim terpilih akan bekerja pada pengadilan HAM tingkat pertama dan tingkat banding.
Empat hakim yang akan mengadili perkara HAM berat di pengadilan tingkat pertama adalah Siti Noor Laila (mantan Komisioner Komnas HAM), Robert Pasaribu (analis hukum pada Badan Riset dan Inovasi Nasional/BRIN), Sofi Rahma Dewi (akademisi), dan Anselmus Aldrin Rangga Masiku (advokat).
Adapun empat hakim yang akan bekerja di pengadilan tingkat banding yakni Mochamad Mahin (mantan hakim ad hoc pengadilan tindak pidana korupsi), Fenny Cahyani (advokat), Florentia Switi Andari (advokat), dan Hendrik Dengah (akademisi).
Peristiwa Paniai yang terjadi di Papua pada 2014 silam menjadi perkara pertama yang akan diadili di Pengadlan HAM pada Pengadilan Neger (PN) Makassar, Sulawesi Selatan sejak 18 tahun terakhir. Kejaksaan Agung telah melimpahkan kasus itu ke pengadilan sejak Rabu (15/7) lalu.
Sebagai penyidik, Kejagung menetapkan Mayor Inf (Purn) Isak Sattu selaku mantan Perwira Penghubung (Pabung) Komando Distrik Militer (Kodim) 1705/Paniai sebagai tersangka tunggal.
Berdasarkan petikan surat dakwaan yang diunggah Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Makassar, Isak disebut sebagai perwira dengan pangkat tertinggi yang mengkoordinir kegiatan-kegiatan Danramil yang berada dalam wilayah koordinasinya, termasuk di Koramil 1705-02/Enarotali.
Terdakwa seharusnya mengetahui bahwa pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif sedang atau baru saja melakukan pelanggaran HAM yang berat, yakni kejahatan terhadap kemanusiaan, melakukan serangan yang meluas atau sistemik yang diketahuinya. (Tri/OL-09)
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Aenean hendrerit vel magna euismod gravida. Donec ut laoreet dui, ac euismod sem.
api/compartmentLists/{$idCompartment}/{$perPage}/{$offset}api/compartmentLists/{$idCompartment}/{$perPage}/{$offset}
Menteri Negara Bangladesh untuk Informasi dan Penyiaran, Mohammad Arafat, membela penanganan pemerintah terhadap protes massal, meskipun para ahli PBB serukan investigasi.
KOALISI Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menolak segala pembahasan revisi UU TNI dan revisi UU Polri. Terdapat sejumlah masalah krusial yang membahayakan HAM
Masyarakat sipil mendesak Kapolri Listyo Sigit Prabowo memberi atensi serius atas kasus penembakan pembela hak asasi manusia (HAM) Yan Christian Warinussy.
Laporan HRW mengungkapkan kelompok bersenjata yang dipimpin Hamas melakukan "banyak kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan" pada 7 Oktober.
Progresivitas pemerintah dalam menunjukkan komitmen negara untuk menerapkan pematuhan atas prinsip bisnis dan HAM mesti diselaraskan dengan implementasi yang tepat dan efektif.
Kepala Bidang Advokasi Guru P2G, Iman Zanatul Haeri mengatakan praktik kebijakan cleansing guru honorer tidak sesuai amanat UU Guru dan Dosen Nomor 14 tahun 2005.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved