Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
GURU besar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mudzakir, dihadirkan sebagai saksi ahli yang meringankan untuk terdakwa kasus dugaan gratifikasi pengurusan fatwa Mahkamah Agung dan penghapusan daftar buronan, Joko Tjandra, Kamis (18/2).
Penasihat hukum Joko Tjandra, Soesilo Aribowo, mulanya mengilustrasikan sebuah kasus dengan tiga orang yang merencanakan suatu perbuatan melawan hukum. Ketiga orang itu diibaratkan dengan A, B, dan C. A dan B adalah pihak swasta, sedangkan C merupakan pegawai negeri yang sebenarnya tidak berkapasitas memudahkan urusan A.
"Mereka bersepakat, lalu tiba-tiba si A ini mencabut kesepakatan itu. Pertanyaan saya adalah, apakah ini sudah termasuk permufakatan jahat atau percobaan untuk melakukan tindak pidana?" tanya Soesilo ke Mudzakir di ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.
Berkaca dari ilustrasi itu, Mudzakir menyebut orang yang memutuskan mencabut kesepakatan, yakni si A, dianggap tidak terlibat dalam permufakatan jahat. Menurutnya, unsur tindak pidana permufakatan jahat harus sudah terwujud dalam perbuatan, bukan hanya dalam pikiran semata.
Apabila satu dari dua orang yang telah bermufakatan jahat mengundurkan diri saat perbuatannya sudah diwujudkan dalam bentuk persiapan awal, ia tetap tidak menjadi bagian dari pada permufakatan jahat.
"Karena dia sudah membuat pernyataan mengundurkan diri atau tidak ikut serta atau membatalkan keturutsertaan dalam niat jahat tersebut," terang Mudzakir.
Dalam perkara pengurusan fatwa MA, Joko Tjandra dinilai melakukan permufakatan jahat dengan tersangka jaksa Pinangki Sirna Malasari dan pihak swasta bernama Andi Irfan Jaya. Dalam bukti rencana aksi, permufakatan jahat itu disebut terealisasi dengan rencana memberi hadiah atau janji berupa US$10 juta kepada pejabat di Kejaksaan Agung dan MA.
Adapun permufakatan jahat itu bertujuan agar Joko Tjandra diberikan fatwa MA dan terbebas dari hukumannya dalam kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali.
Dalam kaitan dengan perkara penghapusan nama Joko Tjandra dari daftar buronan, Soesilo kembali memberikan ilustrasi peristiwa dengan empat orang tokoh. A dan B adalah pihak swasta, sementara C dan D adalah pihak yang digambarkan sebagai anggota Polri. D memiliki otoritas di bidang red notice.
A digambarkan meminta bantuan B untuk mencari tahu status red notice-nya. B lantas berhubungan dengan C dan D. Ternyata menurut D, red notice A sebenarnya tidak perlu diurus karena sudah dibuka. Namun, B tetap bersepakat minta uang ke A.
"Pertanyaannya, apakah yang seperti ini si A telah menjadi korban si B, karena tanpa upaya pun red notice sudah dibuka otomatis?" tanya Soesilo.
Mudzakir menyebut bahwa sosok A adalah korban B. A, katanya, terpaksa mengeluarkan uang karena permintaan B. "Si A ini korban dari proses sesuatu yang tidak ada, seolah-olah menjadi ada. Jadi kalau benar seperti itu sebagai korban proses informasi enggak benar, sehingga dia harus terpaksa mengeluarkan uang," tandas Mudzakir.
Diketahui, Joko Tjandra diduga memberikan suap kepada dua jenderal di Polri melalui pengusaha Tommy Sumardi. Suap yang diberikan kepada mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Irjen Napolen Bonaparte sebesar Sing$200 ribu dan US$370 ribu. Adapun suap ke mantan Kepala Biro Koordinasi Pengawasan PPNS Bareskrim Brigjen Prasetijo Utomo sebesar US$100 ribu. (P-2)
Berdasarkan sidang KKEP, Irjen Napoleon Bonaparte dikenakan saksi administrasi berupa mutasi bersifat demoasi selama tiga tahun, empat bulan.
MA menolak kasasi yang diajukan mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Irjen Napoleon Bonaparte.
Vonis kasasi itu diputuskan pada 3 November 2021 oleh majelis hakim Suhadi selaku ketua dengan hakim anggota Eddy Army dan Ansori.
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memotong hukuman eks jaksa Pinangki Sirna Malasari dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara.
Saat menjabat sebagai Kadiv Hubinter Polri, Napoleon terbukti menerima suap sebesar US$370 ribu dan Sing$200 ribu atau sekitar Rp7,2 miliar dari Joko Tjandra
KOMISI Yudisial (KY) akan melakukan anotasi terhadap putusan majelis hakim tingkat banding yang memangkas hukuman Joko Soegiarto Tjandra.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved