Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Fokus

Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.

Bedakan Kritik dan Hinaan

M Iqbal Al Machmud
23/9/2019 07:50
Bedakan Kritik dan Hinaan
Anggota Panja Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) Teuku Taufiqulhadi(MI/MOHAMAD IRFAN)

ANGGOTA Panja Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), Teuku Taufiqulhadi, menilai bahwa pasal yang mengatur penghinaan terhadap kepala negara tidak akan dipermasalahkan di kemudian hari.

"Menurut saya, tidak karena mengkritik dan menghina sesuatu yang berbeda. Kalau mengkritik, itu tidak personal. Namun, kalau menghina, itu personal dan tidak ada hubungan apa pun dengan seseorang sebagai kepala negara," kata Taufiqulhadi saat dihubungi, kemarin.

Menurutnya, pasal penghinaan terhadap kepala negara yang tercantum pada Pasal 219 tidak akan menimbulkan masalah karena sudah dipertimbangkan baik-baik.

"Sebenarnya itu (RKUHP) sudah kami pertimbangkan baik-baik dan tidak akan menimbulkan masalah," ujar Taufiqulhadi.

Antara penghinaan dan kritik tentu sangat berbeda. Jika kritik, diarahkan kepada kinerja dan jabatannya sebagai kepala negara dalam hal ini presiden dan wakil presiden. Namun, jika penghinaan, itu akan menyerang lebih kepada personalnya.

Menurutnya, pasal itu sangat jelas dan tidak mungkin dipermasalahkan di kemudian hari karena pasal itu juga merupakan pasal dengan delik aduan.

"Iya, itu delik aduan absolut mutlak, jadi tidak dipermasalahkan. Kritiklah sesuai dengan kegiatannya. Kalau menghina, itu sesuatu yang diada-adakan dan sangat personal," jelas politikus Fraksi NasDem itu.

 

Lebih baik

Pakar hukum pidana Universitas Al Alzhar, Suparji Ahmad, mendukung pengesahan RKUHP. Suparji menilai sejumlah aturan baru dalam RKUHP lebih baik ketimbang KUHP warisan Belanda.

"Materi pasal sudah melalui semacam batu uji yang berpedoman pada Pancasila, konstitusi, nilai-nilai budaya, dan hukum-hukum yang berlaku di dunia yang beradab. Materinya relatif lebih baik," kata Suparji kepada Medcom.id, kemarin.

Akan tetapi, Suparji Ahmad menyarankan agar Pasal 217-220 dalam RKUHP dihapus dalam rangka merespons aspirasi masyarakat.

Pasal 217-220 RKUHP mengatur hukuman terhadap setiap orang yang menyerang harkat dan martabat presiden dan wakil presiden. "Itu dalam rangka merespons aspirasi masyarakat karena pasal-pasal itu dikritik banyak orang karena dinilai warisan kolonial dan bertentangan dengan putusan MK," kata Suparji, Sabtu (21/9).  

Suparji mengatakan banyak pihak menilai pasal penyerangan harkat dan martabat presiden/wakil presiden dikhawatirkan multitafsir dan multiinterpretasi, memasung kebebasan pers, dan dikhawatirkan mudah memidanakan orang.

Anggota Dewan Pers Agung Darmajaya meminta RKUHP jangan sampai tumpang-tindih dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. "Ketika muncul persoalan pers, masuk ke KUHP menjadi pidana. Artinya, kebebasan pers di satu sisi terbelenggu pidana, akhirnya jadi tumpang-tindih," kata Agung, akhir pekan lalu.

Dia mengingatkan, ketika terjadi persoalan dalam sebuah pemberitaan, itu harus diselesaikan dengan UU Pers, bukan pidana. (Ant/X-6)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya