Hakim Perut Kasus Tannur

28/10/2024 05:00
Hakim Perut Kasus Tannur
Gaudensius Suhardi Dewan Redaksi Media Group(MI/Ebet)

MAHKOTA hakim ialah putusannya. Elok dipandang jika mahkota itu dianyam dari keyakinan hakim berdasarkan minimal dua alat bukti sehingga memancarkan sinar keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.

Putusan Nomor 454/Pid.B/2024/PN.Sby menjadi mahkota Hakim Ketua Erintuah Damanik dan hakim anggota Mangapul serta Heru Hanindoyo. Putusan itu dimusyawarahkan para hakim pada 22 Juli dan diucapkan dalam sidang terbuka pada 24 Juli.

Ada 102 halaman putusan itu. Isi halaman 99 tidak hanya menentukan nasib terdakwa, tetapi juga menentukan nasib tiga hakim pemilik mahkota. Terdapat enam butir isi putusan, dua butir pertama paling disorot.

Pertama, menyatakan terdakwa Gregorius Ronald Tannur anak Edward Tannur tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana. Kedua, membebaskan terdakwa dari seluruh dakwaan penuntut umum. Ronald Tannur dituntut 12 tahun penjara.

Putusan itu menimbulkan keguncangan karena ada jurang yang menganga antara isi putusan dan rasa keadilan masyarakat. Hakim mengabaikan adagium fiat justitia et pereat mundus, keadilan harus tetap ditegakkan meski dunia akan binasa.

Publik menilai putusan hakim dirancang untuk gagal dalam mengungkapkan kebenaran serta bertujuan melindungi Ronald Tannur sang terdakwa kejahatan atas Dini Sera Afrianti, pacarnya. Padahal, menurut Satjipto Rahardjo, hakim harus mewakili suara rakyat yang diam yang tidak terwakili dan yang tidak terdengar. Tiga hakim itu mewakili perut mereka sendiri.

Laporan penelitian Komisi Yudisial (2012) terkait dengan kualitas hakim dalam putusan menyebut dua tipe hakim dengan menyitir pendapat Satjipto Rahardjo.

Pertama, hakim yang apabila memeriksa, terlebih dahulu menanyakan hati nuraninya atau mendengarkan putusan hati nuraninya dan kemudian mencari pasal-pasal dalam peraturan untuk mendukung putusan tersebut.

Kedua, hakim yang apabila memutus, terlebih dahulu berkonsultasi dengan kepentingan perutnya dan kemudian mencari pasal-pasal untuk memberikan legitimasi terhadap putusan perutnya. Bolehlah kita menyebut tipe ini sebagai hakim perut.

Mengapa hakim berkonsultasi dengan perut? Jawabannya bisa ditemukan dalam buku yang diterbitkan Komisi Yudisial (2017) berjudul Problematika Hakim dalam Ranah Hukum, Pengadilan, dan Masyarakat di Indonesia: Studi Sosio-Legal.

Saat hakim bekerja di ruang pengadilan, semua menyapa mereka dengan 'Yang Mulia'. Namun, ketika hakim kembali pada realitas kehidupan, seperti orang kebanyakan lain, mereka juga harus bergulat dengan berbagai kesulitan hidup. “Bagaimana mungkin kita bisa bekerja dengan tenang dan melahirkan putusan yang berkualitas, sementara anak belum bayar semesteran, istri juga butuh biaya, adik masuk rumah sakit?”

Penelitian itu membagi hakim ke dalam tiga tipe. Pertama, hakim yang disebut dengan 'kapal keruk'. Karakternya memang rusak secara moral. Ciri-cirinya meminta jatah kepada pihak yang beperkara dan memaksakan putusannya meski pertimbangan hukumnya keliru.

Tipe kedua, hakim yang tidak meminta jatah kepada pihak yang beperkara, tetapi karena terdesak secara ekonomi, menerima 'hadiah' dari para pihak. Namun, tipe hakim itu tidak sembarang 'membantu' para pihak yang beperkara. Hakim tipe kedua berpikir secara hukum bahwa ia hanya bersedia 'membantu' pihak beperkara yang menurut hukum memang harus dimenangkan.

Tipe hakim yang ketiga ialah hakim yang idealis. Hakim itu menjaga integritasnya dalam keadaan apa pun. Saat mengadili perkara, ia berusaha mencari keadilan kemudian mencari dasar hukumnya atas putusannya. Tipe ketiga itu menjunjung etika profesi hakim, bahwa hakim harus jujur dalam kondisi apa pun.

Tiga hakim yang membebaskan Ronald Tannur masuk tipe yang mana? Tidaklah berlebihan jika mereka dimasukkan kategori hakim perut atau hakim kapal keruk.

Patut diduga bahwa saat memutuskan perkara, tiga hakim itu tidak berkonsultasi dengan hari nurani, tapi bertanya kepada perut. Ketiga hakim itu ditangkap Kejaksaan Agung dan dijadikan tersangka karena menerima suap dari pengacara Lisa Rahmat dengan perantaraan mantan pejabat Mahkamah Agung Zarof Ricar. Dua nama terakhir juga menjadi tersangka.

Tiga hakim itu juga disebut sebagai hakim 'kapal keruk' yang memaksakan putusan mereka meski pertimbangan hukum mereka keliru. Hasil investigasi Komisi Yudisial menemukan ketiga hakim tersebut membacakan fakta-fakta hukum yang berbeda dengan yang ada di salinan putusan. Demikian pula dengan pertimbangan hukum, khususnya terkait dengan unsur-unsur pasal yang didakwakan, berbeda antara yang dibacakan dan yang ada di salinan putusan.

Meski ada perbedaan antara yang diucapkan dan yang tertulis, yang sah ialah yang diucapkan. Pasal 1 angka 11 KUHAP menyatakan putusan pengadilan ialah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.

Tegas dikatakan bahwa Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindoyo hanyalah setitik nila yang merusak susu sebelanga hakim yang totalnya berjumlah 7.971 orang. Masih terlalu banyak hakim idealis yang tegak lurus merawat wibawa mahkota mereka meski tidak diimbangi dengan kesejahteraan yang diterima. Jangan biarkan hakim dipelesetkan menjadi HAKIM, 'hubungi aku kalau ingin menang'.



Berita Lainnya
  • Resonansi dari Pati

    09/8/2025 05:00

    Pemimpin dianggap berhasil bila ia mampu memainkan peran sebagai pelayan bagi rakyat.

  • Semakin Dilarang semakin Berkibar

    08/8/2025 05:00

    FENOMENA bendera Jolly Roger yang diambil dari anime One Piece sungguh menarik dan kiranya layak dijadikan kajian.

  • Menerungku Silfester

    07/8/2025 05:00

    KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.

  • Harapan dalam Angka

    06/8/2025 05:00

    PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future 

  • Ampun Dah

    05/8/2025 05:00

    USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.

  • Amnesti tanpa Amnesia

    04/8/2025 05:00

    BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.  

  • Abolisi, Amnesti, Rekonsiliasi

    02/8/2025 05:00

    PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.

  • Belajar dari Vietnam

    01/8/2025 05:00

    KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,

  • Insinuasi Jokowi

    31/7/2025 05:00

    ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.

  • Masih Rojali-Rohana

    30/7/2025 05:00

    TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.

  • Gurita Serakahnomics

    29/7/2025 05:00

    FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.

  • Destinasi Wisata Proyek Mangkrak

    28/7/2025 05:00

    JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.

  • Rojali-Rohana

    26/7/2025 05:00

    SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.

  • Superman Sungguhan

    25/7/2025 05:00

    'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.

  • Tom Lembong

    24/7/2025 05:00

    VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.

  • Tamparan Sahdan

    23/7/2025 05:00

    BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima