Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
APA enaknya jadi kelas menengah di Indonesia? Mayoritas kelas menengah saya duga akan menjawab: ndak tahu. Jawaban itu jujur. Karena, pertanyaan dengan menggunakan kata 'enak' memang berhubungan dengan apa yang dirasakan dan dialami. Sedangkan kaum menengah di negeri ini lebih sering dalam kondisi 'terjepit' dan belum banyak menikmati keuntungan, kecuali gengsi status.
Bahkan, kian ke sini, kondisi kelas menengah Indonesia semakin terjepit dan tertekan. Kenaikan harga pangan yang memicu inflasi, misalnya, membuat kelas menengah yang mestinya sudah naik level ke kelompok yang tidak terlalu risau dengan kebutuhan dasar, menjadi turun level ke kelompok yang meresahkan kebutuhan dasar.
Inflasi harga pangan membuat penghasilan mereka habis untuk membeli makanan dan minuman. Sebagian dari mereka bahkan menggunakan tabungan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka yang mulai 'mantab' (makan tabungan) sejak akhir pandemi, semakin 'mantab' sejak inflasi harga pangan itu.
Data Mandiri Spending Index (MSI) yang baru dirilis mengonfirmasi hal itu. Di data itu disebutkan bahwa pengeluaran masyarakat saat ini lebih terarah pada kebutuhan yang terkait dengan supermarket. Mayoritas kebutuhan yang terkait dengan supermarket itu berhubungan dengan belanja makanan dan minuman.
Data MSI menunjukkan porsi pendapatan masyarakat yang digunakan untuk kebutuhan makan dan minum pada hampir paruh pertama tahun 2024 melonjak tinggi jika dibandingkan dengan tahun lalu. Pada Januari 2023, porsi penghasilan yang digunakan untuk membeli kebutuhan primer masih 13,9%. Ketika konsumsi makanan melonjak pada bulan puasa dan Lebaran 2023, porsi penghasilan yang digunakan untuk makanan juga masih di angka 16,6%.
Namun, pada Mei 2024, porsi penghasilan masyarakat yang dipakai untuk kebutuhan makan dan minum naik hingga 26%. Itu artinya naik dua kali lipat. Itu juga menunjukkan mayoritas masyarakat Indonesia semakin banyak mengalokasikan penghasilan mereka untuk kebutuhan sehari-hari. Hal itu bisa terjadi karena harga-harga bahan pokok naik, pada saat yang sama pendapatan masyarakat segitu-segitu saja. Maka, level kelas menengah kita pun merosot, bukan lagi memenuhi kebutuhan sekunder, apalagi tersier, melainkan berkutat di urusan primer.
Nasib kelas menengah makin terjepit karena mereka mesti bertarung sendiri untuk bisa kembali naik level. Sebab, bila yang terkena dampak kenaikan harga bahan pokok kelas bawah, pemerintah bisa dengan mudah membantu mereka dengan membagikan bantuan sosial. Adapun kelompok kelas atas sejauh ini tidak terlalu terkena dampak inflasi harga pangan karena level mereka yang sudah terlampau tinggi.
Tapi, siapa yang memedulikan kelompok menengah terkait dengan jepitan naiknya harga-harga? Mau meminta bansos, rasa-rasanya sudah tidak pantas. Berharap mendapatkan insentif, dianggap belum berada di lingkaran yang patut tersentuh insentif. Maka, nasib mereka seperti telur dalam makanan sandwich yang dijepit roti pada bagian atas dan bawah.
Data simpanan masyarakat di bank, sebagaimana yang pernah dirilis oleh Lembaga Penjamin Simpanan maupun Bank Indonesia, juga menunjukkan tabungan kelompok masyarakat terbawah sempat turun ketika harga makanan pokok naik. Namun, belakangan angka itu melandai seiring dengan pengucuran bantuan sosial dari pemerintah. Sebaliknya, untuk kelompok menengah, simpanan mereka kian tergerus dengan tabungan yang terus berkurang.
Kondisi itu jauh berbeda bila dibandingkan dengan tabungan kelas atas yang jumlahnya justru naik, plus daya beli yang terjaga. Tabungan kelompok atas ini ditopang oleh pendapatan dari investasi yang mereka lakukan di saham maupun obligasi yang masih bisa diandalkan. Kondisi-kondisi seperti itu mengingatkan saya kepada situasi 'The Chilean Paradox' yang pernah diungkapkan mantan Menteri Keuangan Chatib Basri akhir tahun lalu.
Fenomena Paradoks Cile adalah situasi yang terjadi ketika pertumbuhan ekonomi yang relatif terjaga atau tinggi tanpa dibarengi dengan memperhatikan dan memfasilitasi kepentingan kelas menengah. Ketika kelas menengah terus-menerus dilanda kebingungan karena pendapatan mereka merosot dan pemerintah abai, muncul ledakan sosial yang mengguncang stabilitas Cile secara amat serius.
Cile merupakan negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di Amerika Latin. Negara kaya minyak itu juga berhasil menurunkan kemiskinan dari 53% menjadi 6%, lebih baik daripada Indonesia. Meski dengan semua pencapaian moncer itu, pada Oktober 2019 meletus kerusuhan sosial yang hampir berujung pada revolusi. Peristiwa itulah yang kemudian disebut dengan istilah The Chilean Paradox. Kerusuhan terjadi justru ketika ekonomi sedang bagus-bagusnya dan kemiskinan sudah sangat sukses ditekan. Perkaranya disulut oleh kaum menengah yang lalai diperhatikan.
Pemerintah mestinya segera mencari formula mengatasi ini. Saat kelas menengah gagal memenuhi impian mereka karena tabungan yang terus-menerus dipakai kian menipis, saat keresahan terus berkecamuk, solusi cepat mesti diambil. Mereka bisa saja tidak percaya bahwa ekonomi yang tumbuh di rata-rata 5% adalah capaian terbaik di tengah ketidakpastian global.
Para 'penghuni' kelas menengah itu akan terus mempertanyakan, bila memang ekonomi membaik, mengapa kehidupan yang mereka rasakan justru sebaliknya? Kalau ekonomi kuat, mengapa banyak dari mereka justru susah meraih kenaikan pendapatan? Justru yang mereka alami, kian hari kian 'mantab' saja.
JUDUL di atas ialah ungkapan harapan. Meski demikian, sejauh ini yang terjadi justru memperlihatkan tanda-tanda sebaliknya.
ULISAN ini merupakan episode ke sekian yang membahas kelas menengah. Saya bilang ke sekian karena saya belum sempat menghitungnya kembali.
DALAM Kongres Muhammadiyah di Yogyakarta pada 1922, pendiri persyarikatan KH Ahmad Dahlan menyampaikan pidato yang menggetarkan berjudul Tali Pengikat Hidup.
“APALAH arti sebuah nama,” kata pujangga Inggris William Shakespeare. Akan tetapi, dalam sistem ketatanegaraan negeri ini, nama punya arti. Perubahan nama justru memantik kontroversi.
SEJUMLAH teman, beberapa tahun lalu, mengidentifikasikan diri sebagai kelas menengah. Puncak kelas menengah, malah.
WHAT'S in a name? Apalah arti sebuah nama? Begitu William Shakespeare bilang. Apalah arti sebuah gelar? Begitu kira-kira Fathul Wahid berujar.
SEORANG perempuan di Kabupaten Malang, Jawa Timur, tega membunuh temannya, sesama ibu rumah tangga, hanya gara-gara tak diberi pinjaman uang sebesar Rp1 juta
SUATU kali, kolumnis beken Mahbub Djunaidi amat risau dengan banyaknya penghalusan bahasa yang tidak hanya digunakan para pejabat, tapi juga dipakai wartawan di sejumlah koran
Perempuan pertama yang menjadi wapres dalam sejarah AS itu memiliki rekam jejak yang kinclong.
HEBOH soal mobil dinas sudah menjadi tabiat lima tahunan KPU. Mobil dinas menjadi sorotan dan rebutan sejak KPU dibentuk pertama kali.
ADA sebuah pantun unik berbahasa Madura yang menggambarkan persatuan. Disebut unik karena meskipun berbahasa Madura, pantun itu tidak ditemukan di 'Pulau Garam' itu
TEMAN saya yang satu ini kembali uring-uringan. Ia kesal, marah, geram setelah membaca sebuah artikel lewat telepon pintarnya
DEWAN Perwakilan Daerah (DPD), bersama otonomi daerah, sejatinya merupakan anak kandung reformasi. Keduanya amat krusial bagi upaya pemerataan pembangunan nasional.
BUNG Karno kerap menyebut bahwa kita ialah bangsa besar. Indonesia bangsa besar karena didirikan manusia-manusia berjiwa besar.
Hakim Eman diketahui rajin menyampaikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN).
INDUSTRI farmasi tumbuh subur, tetapi harga obat selangit. Argumentasi usang terkait dengan harga yang mahal ialah 95% bahan baku obat masih impor.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved